Adica dan Syifa, nama putra-putrinya menghentak kesadaran. Ia tidak boleh rapuh. Ia harus kuat.
"Kamu benar, Arlita. Aku masih dibutuhkan..."
Abi Assegaf terbatuk di sela kalimatnya. Arlita sigap meraih gelas. Menuangkan air putih, lembut meminumkannya pada mantan suaminya.
Di luar sana, empat pasang mata lekat menatapi mereka berdua. Baru kali ini mereka melihat sosok setangguh Abi Assegaf jatuh dalam kerapuhan. Pria penyayang itu masih butuh wanita yang mencintainya. Arlita satu-satunya wanita yang dibutuhkan Abi Assegaf.
"Aku akan senang kalau Abi dan Ummi rujuk lagi." ungkap Syifa.
"Let it flow, Syifa." Silvi berkata lembut.
** Â Â
Sepasang pria dan wanita orientalis itu menangis sambil berpelukan. Lembaran kertas hasil test DNA bergetar. Akhirnya, secercah cahaya terang itu hadir.
Desis AC di kamar utama itu meningkahi suara tangis mereka. Sedih, haru, bercampur sesal merasuki hati. Mengapa baru sekarang? Mengapa tidak bertahun-tahun lalu? Demi Allah, anak yang terbuang itu teramat dekat dengan mereka.
Lama Tuan Effendi dan Nyonya Rose tenggelam dalam kenangan. Teringat peristiwa bertahun-tahun lalu. Anak kedua yang tersia-sia, anak yang lahir di tengah tekanan dan guncangan. Anak yang kini telah mereka temukan.
Nyonya Rose tak henti mendesak suaminya cepat ke rumah sakit. Mereka ingin menemui anak itu, kalau perlu membawanya ke rumah sekarang juga. Tentunya tak mudah. Anak itu telah diproteksi sedemikian kuat oleh pebisnis yang menyayanginya.