Gelisah tercermin di mata Dokter Tian. Calvin mampu melihat hal itu. Usai sesi kemoterapi, ia ajak dokternya itu bicara dari hati ke hati.
"Dokter Tian kenapa?"
"Aku tidak apa-apa, Abi. Ayo kutemani ke Koffie Tijd. Katanya Abi mau lunch di sana."
Di bawah mendung yang berujung gerimis, Adica dan Abi Assegaf bergegas ke resto bergaya Indo-Belanda. Jaraknya hanya beberapa blok dari studio Refrain. Resto bernuansa putih itu dipenuhi pajangan dinding keramik, tulisan 'I Am Amsterdam', selop kayu, dan pakaian tradisional Belanda. Suasananya hommy. Sofa-sofa empuk menyambut pengunjung. Hembusan AC menyejukkan ruangan. Mahalnya harga makanan di sini sebanding dengan kualitas. Ini tempat makan siang favorit Abi Assegaf tiap kali ke Refrain Radio.
"Radio? Kenapa dengan radio, Dokter Tian?" Calvin mulai terusik.
"Adikmu...dia yang dalam tulang-tulangnya ada ikatan darah denganmu...ada di radio, Nak." sahut Dokter Tian lirih.
Suara musik instrumental mengalun lirih. Menemani dua lelaki tampan itu saat menikmati tenderloin steak. Abi Assegaf tanpa ragu membantu anak lelakinya memotong steak saat ia kesulitan. Katakanlah efek samping kemoterapi sudah sedikit mereda.
"Abi, boleh aku pesan makanan lagi?" pinta Adica.
"Boleh, Sayang. Kamu masih lapar ya? Akhirnya kamu tidak Anorexia lagi..."
"Bukan, Abi. Aku pesan makanan lagi untuk Pak Deddy dan Pak Sasmita. Kasihan mereka, Abi."
Good boy, pikir pria tampan berlesung pipi ini senang. Adica tetap baik pada dua orang yang menzhaliminya. Syifa pasti makin jatuh cinta kalau tahu ini semua.
"Dia pemuda yang sangat baik, Calvin. Salah satu pasien saya...pasien yang sangat tegar."
"Jadi, Dokter Tian sudah tahu siapa adikku?" Mata Calvin berbinar antusias.
Sudah, cukup sudah kedengkian itu. Deddy dan Sasmita terenyak saat menerima dua porsi Fettucinne Alfredo pemberian Adica. Abi Assegaf melayangkan tatapan penuh arti. Adica tak melihatnya. Ia terburu-buru masuk ke studio. Saatnya siaran Musik Pelepas Lelah.
"97.6 FM Refrain, Brilian and Inspiratif. Selamat siang, pedengar. Jumpa lagi dengan saya, Adica Wirawan, dalam program Musik Pelepas Lelah. Selama satu jam, saya akan menemani Anda dengan musik pilihan dan rangkaian informasi. Tetap di...Refrain."
Calvin terpana, sempurna terpana. Kertas tebal berlogo rumah sakit meluncur jatuh. Sungguh ia tak menduga. Dunia sempit sekali. Ternyata, dia yang dicari begitu dekat.
"Aku ingin bertemu dia...aku ingin memeluknya." lirih Calvin.
Dokter Tian bergumam menyabarkan. Tak semudah itu. Ia berada dalam perlindungan super ketat seorang penyiar dan pengusaha.
** Â Â
Tersiarkan kisah lelaki
Tangguh bagai satria
Namun saat ia tertatih
Tampak oleh dunia
Siapa yang jadi sandarannya
Bisakah kau hidup tanpa teduhnya wanita
Yang di setiap sujudnya terbisik namamu
Dia cerminan sisi terbaikmu
Lindungi hatinya
Sekalipun di dalam amarah
Tajam rasa racun dunia
Dia punya penawarnya
Kelembutannya, kekuatannya
Bisakah kau hidup
Tanpa teduhnya wanita
Yang di setiap sujudnya terbisik namamu
Dia cerminan sisi terbaikmu
Lindungi hatinya
Sekalipun di dalam amarah (Raisa-Teduhnya Wanita ost Ayat-Ayat Cinta 2).
** Â Â
Adica memainkan biola di tangga gedung Refrain Radio. Violin Concerto in D Major gubahan Mozart coba ia mainkan. Durasi siaran telah usai. Kini saatnya Abi Assegaf bersiaran.
Menit-menit bergulir menjadi jam. Tenggelam dalam permainan biolanya, tetiba Adica dikagetkan bunyi gaduh di jalan depan studio. Suara benturan logam beradu dengan aspal, disusul teriak kesakitan. Adica berlari ke jalan. Pemandangan di depannya sungguh mengagetkan.
"Revan...?" desisnya tak percaya.
Pria Manado Borgo bermata biru itu ditabrak mobil. Luka-luka tertoreh di tubuhnya. Darah berceceran menodai rambut pirangnya. Orang-orang menyemut, mencoba memberi bantuan.
"Biar saya saja...dia teman saya." kata Adica mengambil alih.
Sedetik kemudian ia tersadar. Dirinya belum cukup kuat menyetir mobil dan membawa Revan sendirian ke rumah sakit. Apa boleh buat? Diteleponnya Abi Assegaf. Beruntung saat itu Abi Assegaf telah selesai siaran.
Abi Assegaf mengambil mobil lima menit berselang. Saat turun dari mobil, wajah pria tampan itu memias. Ia sedikit terhuyung, mencengkeram tepi mobilnya.
"Kenapa, Abi?" tanya Adica cemas, menahan lembut tubuh Abinya.
Tak ada jawaban. Abi Assegaf sesak nafas. Seluruh oksigen seakan dicuri dari paru-parunya. Ah, andai saja Adica tahu. Ayah keduanya ini punya riwayat sindrom pascatrauma. Zaki Assegaf yang dikenal penyabar, bijak, friendly, humble, baik hati, dan tangguh ternyata trauma melihat korban kecelakaan. Lihatlah itu, sosok tegar dan tangguh pun terkalahkan penyakit.
"Astaghfirullah al-azhim...Abi!" Adica berseru tertahan saat Abinya jatuh pingsan.
Orang bilang, kekuatan hadir di saat terdesak. Adica telah membuktikan itu. Mengabaikan kondisi tubuhnya sendiri, ia nekat menyetir mobil. Dibawanya dua pria tampan tak berdaya itu ke rumah sakit.
** Â Â
Calvin dan Silvi duduk di kanan-kiri Adica. Terlihat malaikat tampan bermata sipit itu menggenggam tangan Adica. Sepotong tangan rapuh dan dingin.
"Kamu luar biasa, Adica." puji Calvin setulus hati.
Pujian itu disambut gelengan kepala. Diusapnya wajah dengan frustrasi. Jujur, Adica masih shock gegara dua peristiwa mengagetkan di depan matanya.
"Abi Assegaf akan baik-baik saja. Begitu juga Revan." Calvin berbisik lembut menenangkan.
Satu-dua kali Silvi terisak. Dia sangat cemas memikirkan kondisi kakaknya. Gadis bermata biru itu menyayangi Revan lebih dari apa pun, terlebih sejak orang tua mereka meninggal. Adica tertunduk dalam. Sisi terdalam hatinya mendoakan Abi Assegaf, sisi lainnya mendoakan Revan. Koridor rumah sakit itu disesaki kesedihan.
Derap langkah dua pasang kaki mengalihkan atensi. Mereka berpaling ke ujung koridor. Syifa dan Arlita berlari ke dekat mereka. Gurat kecemasan mendominasi wajah dua perempuan cantik itu.
Syifa menghambur ke pelukan Adica. Tangisnya pecah.
"Terima kasih...terima kasih telah membawa Abi ke sini. Kau hebat, Adica. Masih kuat membawa dua orang ke rumah sakit, walau kau sendiri sedang sakit." Syifa memuji di sela isaknya.
Adica dan Syifa berpelukan. Berulang kali Arlita melempar pandang cemas ke kaca yang membatasi koridor dengan ruang perawatan. Tak bisa diingkari, hatinya memendam beribu kecemasan. Ia satu dari sedikit orang yang paling memahami kelemahan Abi Assegaf. Wanita mualaf itu takut, sungguh takut.
Paramedis yang dinanti-nanti akhirnya keluar juga. Apa yang dikatakan begitu mengejutkan: berulang kali Abi Assegaf memanggil Arlita.
"Masuklah, Ummi. Abi butuh Ummi," Syifa memohon.
"Tapi...apa tidak sebaiknya kamu dan Adica saja?" tolak Arlita ragu.
"Tidak, Ummi...maaf, Bu Arlita saja yang masuk." timpal Adica halus.
"No, no...panggil aku Ummi, Adica. Kau anakku juga. Anak Assegaf akan jadi anakku."
Hati Adica menghangat. Sepotong hati yang tak pernah merasakan hangatnya kasih seorang ibu. Michael Wirawan membesarkan Adica tanpa istri. Praktis Adica tak pernah kenal sosok ibu dalam hidupnya.
Arlita melangkah pelan ke ruang rawat. Adica, Syifa, Calvin, dan Silvi lekat memperhatikan. Nampak Arlita begitu ragu. Namun, begitu menginjakkan kaki ke dalam ruangan, kerak-kerak es di dinding hatinya luruh.
Abi Assegaf terbaring lemah di ranjang. Selang infus terpasang di tangan kiri, selang oksigen di hidungnya. Saturasi oksigen di tubuhnya rendah sekali.
"Assegaf..." Arlita berbisik, matanya berkaca-kaca.
Sedih sekali melihat sosok pria tangguh, pria tegar berjiwa pemimpin, pria yang mampu memimpin ratusan karyawan Assegaf Group, kini jatuh dan kalah oleh penyakit lama. Setiap manusia sama. Apa pun sifatnya, setangguh apa pun dirinya, tetap saja ia takkan berdaya di kala sakit.
"Assegaf, aku di sini..."
Tangan Arlita menyentuh tangan Abi Assegaf yang terbalut selang infus. Abi Assegaf mengerang, lalu membuka mata.
"Sudah tidak ada..." Suaranya begitu lemah, tak lebih dari bisikan.
Arlita mengangguk. "Iya, Assegaf. Tak ada lagi yang kamu takutkan...semuanya baik-baik saja."
Abi Assegaf menghela nafas. Dadanya masih terasa sesak. Belaian hangat Arlita sedikit menguatkannya. Di saat begini, Abi Assegaf terlihat sangat rapuh.
"Tenanglah. Atur pikiranmu. Adica dan Syifa butuh kamu."
Adica dan Syifa, nama putra-putrinya menghentak kesadaran. Ia tidak boleh rapuh. Ia harus kuat.
"Kamu benar, Arlita. Aku masih dibutuhkan..."
Abi Assegaf terbatuk di sela kalimatnya. Arlita sigap meraih gelas. Menuangkan air putih, lembut meminumkannya pada mantan suaminya.
Di luar sana, empat pasang mata lekat menatapi mereka berdua. Baru kali ini mereka melihat sosok setangguh Abi Assegaf jatuh dalam kerapuhan. Pria penyayang itu masih butuh wanita yang mencintainya. Arlita satu-satunya wanita yang dibutuhkan Abi Assegaf.
"Aku akan senang kalau Abi dan Ummi rujuk lagi." ungkap Syifa.
"Let it flow, Syifa." Silvi berkata lembut.
** Â Â
Sepasang pria dan wanita orientalis itu menangis sambil berpelukan. Lembaran kertas hasil test DNA bergetar. Akhirnya, secercah cahaya terang itu hadir.
Desis AC di kamar utama itu meningkahi suara tangis mereka. Sedih, haru, bercampur sesal merasuki hati. Mengapa baru sekarang? Mengapa tidak bertahun-tahun lalu? Demi Allah, anak yang terbuang itu teramat dekat dengan mereka.
Lama Tuan Effendi dan Nyonya Rose tenggelam dalam kenangan. Teringat peristiwa bertahun-tahun lalu. Anak kedua yang tersia-sia, anak yang lahir di tengah tekanan dan guncangan. Anak yang kini telah mereka temukan.
Nyonya Rose tak henti mendesak suaminya cepat ke rumah sakit. Mereka ingin menemui anak itu, kalau perlu membawanya ke rumah sekarang juga. Tentunya tak mudah. Anak itu telah diproteksi sedemikian kuat oleh pebisnis yang menyayanginya.
Bahkan, Dokter Tian memperingatkan mereka untuk berhati-hati. Bukan peringatan biasa. Mereka pun tahu siapa yang tengah mereka hadapi.
Satu dari sembilan asisten rumah tangga mengetuk pintu kamar. Nyonya Rose membukakannya. Ada Dokter Tian di bawah, begitu kata sang pelayan. Tak biasanya Dokter Tian datang ke rumah mereka sesore ini.
** Â Â
Rinai hujan menerpa kaca-kaca jendela. Koridor rumah sakit sangat dingin. Sesekali terdengar deru angin dan gemuruh petir. Dinginnya udara terkalahkan kehangatan di ruang rawat VIP.
Katakanlah mereka layak menjadi keluarga bahagia. Adica Wirawan Assegaf, Asyifa Assegaf, Arlita Maria Anastasia Assegaf, dan Zaki Assegaf tak melepaskan senyum di wajah mereka. Kini, mereka dipersatukan lagi karena cinta. Harapan mekar dalam cinta. Arlita tengah menyuapi Abi Assegaf dengan potongan apel. Syifa mengupasi buah-buah lainnya. Adica entah sengaja entah tidak, mencolek pipi Syifa dengan krim. Lalu, mereka berempat saling suap kue dan buah-buahan.
"Lihatlah," bisik Dokter Tian, mencengkeram pergelangan tangan Tuan Effendi.
"Tegakah kaurusak kebahagiaan mereka dengan tiba-tiba muncul dan mengakui Adica sebagai anakmu? Pak Assegaf sedang sakit, baru-baru ini mantan istrinya mulai luluh...Adica juga belum sembuh. Sabarlah, Effendi."
Air mata Tuan Effendi dan Nyonya Rose tumpah. Sesosok pemuda tinggi, atletis, dan berkacamata memeluk mereka. Calvin datang bagai malaikat, berupaya menghapus kesedihan orang tuanya.
"Nanti dulu, Pa...Ma. Semua ada waktunya." ucap Calvin lembut, diangguki Dokter Tian.
"Tapi kapan, Calvin? Kapan?! Sudah terlalu lama..."
Calvin hanya bisa merengkuh Mamanya ke dalam pelukan. Menenangkan, menghapus kesedihan dan kerinduan. Entah cinta dan rindu ini bertepuk sebelah tangan atau tidak. Nampaknya, Adica sudah terlanjur cinta dengan keluarga Assegaf.
** Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H