Hati Adica menghangat. Sepotong hati yang tak pernah merasakan hangatnya kasih seorang ibu. Michael Wirawan membesarkan Adica tanpa istri. Praktis Adica tak pernah kenal sosok ibu dalam hidupnya.
Arlita melangkah pelan ke ruang rawat. Adica, Syifa, Calvin, dan Silvi lekat memperhatikan. Nampak Arlita begitu ragu. Namun, begitu menginjakkan kaki ke dalam ruangan, kerak-kerak es di dinding hatinya luruh.
Abi Assegaf terbaring lemah di ranjang. Selang infus terpasang di tangan kiri, selang oksigen di hidungnya. Saturasi oksigen di tubuhnya rendah sekali.
"Assegaf..." Arlita berbisik, matanya berkaca-kaca.
Sedih sekali melihat sosok pria tangguh, pria tegar berjiwa pemimpin, pria yang mampu memimpin ratusan karyawan Assegaf Group, kini jatuh dan kalah oleh penyakit lama. Setiap manusia sama. Apa pun sifatnya, setangguh apa pun dirinya, tetap saja ia takkan berdaya di kala sakit.
"Assegaf, aku di sini..."
Tangan Arlita menyentuh tangan Abi Assegaf yang terbalut selang infus. Abi Assegaf mengerang, lalu membuka mata.
"Sudah tidak ada..." Suaranya begitu lemah, tak lebih dari bisikan.
Arlita mengangguk. "Iya, Assegaf. Tak ada lagi yang kamu takutkan...semuanya baik-baik saja."
Abi Assegaf menghela nafas. Dadanya masih terasa sesak. Belaian hangat Arlita sedikit menguatkannya. Di saat begini, Abi Assegaf terlihat sangat rapuh.
"Tenanglah. Atur pikiranmu. Adica dan Syifa butuh kamu."