Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | [Tulang Rusuk Malaikat] Melawan Diri Sendiri

1 November 2018   06:00 Diperbarui: 1 November 2018   08:54 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kau sudah tidak pernah mimisan dan batuk darah lagi, kan?" tanya Syifa cemas.

"Sudah berkurang, Syifa." jawab Adica menenteramkan.

"Alhamdulillah."

Wajah ibu muda berpakaian sederhana itu berbinar bahagia. Pemuda berkacamata di sisinya tersenyum lembut. Senangnya membahagiakan orang-orang tak mampu di rumah sakit.

"Sekarang, Ibu bisa bawa bayinya pulang. Semoga jadi anak yang saleh."

"Terima kasih...benar kata teman-temanku sesama penghuni sal kelas tiga. Kamu seperti malaikat. Malaikat Allah yang turun dari rumah sakit."

"Saya bukan malaikat," sanggah Calvin halus.

Dengan halus, Abi Assegaf meletakkan sesuatu di telapak tangan Adica. Setumpuk kartu. Persis seperti milik Syifa.

"Gunakan baik-baik ya, Sayang. Ini semua buatmu." Abi Assegaf lembut berpesan.

"Abi...apakah ini tidak berlebihan?"

"Tidak, nak. Sekarang kau anakku. Sama seperti Syifa. Kau berhak mendapat fasilitas yang sama."

Syifa memberi Abinya senyuman memesona. Ia senang sekali Abi Assegaf memberi fasilitas yang sama untuk Adica.

Seolah itu belum cukup. Sesaat kemudian, Abi Assegaf mengajak Adica dan Syifa turun ke halaman depan. Sebuah Range Rover silver terparkir di sana.

"Abi beli mobil baru?" tanya Syifa, keningnya berkerut.

"Iya, tapi bukan untuk Abi."

Sebentuk kunci mobil diletakkan dengan lembut ke tangan Adica yang satunya. Abi Assegaf tersenyum tulus, menatapi wajah tampan anaknya.

Anak yang baru lima hari menatap dunia itu siap meninggalkan rumah sakit. Calvin mengantar ibu dan anak itu sampai ke lobi. Setidaknya, dalam kondisi sakit, ia masih merasakan hidupnya berarti. Menolong orang lain menambah arti hidup.

Hidup mewah setelah lama bergelut dalam kesederhanaan membuatnya sedikit kaget. Mobil, kartu-kartu plastik penanda jumlah nominal besar, dan tinggal di rumah mewah tepi pantai menyeret Adica dalam kenangan. Kenangan manis sewaktu masih bersama Michael Wirawan.

"Abi..." panggilnya ragu.

"Iya, anakku cinta? Ada apa?"

"Aku ingin ke makam Papa."

**      


Aku lelah

Aku jera

Aku rasa cinta tak berguna

Ingin pergi tapi tak bisa

Hatiku masih milikmu (Bunga Citra Lestari-Jera Hatiku Masih Milikmu).

Di kamar tidur utama rumah putih bergaya Skandinavian Housenya, Arlita tergugu. Sehelai sapu tangan menutup ujung mata, menampung buliran bening. Pesawat radio menyala, memperdengarkan suara lembut Abi Assegaf.

Tak tahukah Abi Assegaf bila mantan istrinya selalu mendengarkan siaran radionya tiap pagi? Tak tahukah berliter-liter air mata rindu Arlita tumpah hanya untuknya? Tak tahukah Abi Assegaf betapa Arlita terinspirasi setiap siarannya?

"Pendengar, saatnya cerita inspiratif. Ada satu hal inspiratif yang ingin saya bagikan pada Anda..."

Getaran halus merayapi hati Arlita. Musik mengalir pelan di latar belakang. Dua detik kemudian, Abi Assegaf kembali berbicara.

"Melawan Diri Sendiri. Kemenangan sejati bukanlah kemenangan atas orang lain. Namun kemenangan dengan diri. Pertandingan mengalahkan ketakutan, keengganan, keangkuhan, dan berbagai rasa lainnya. Jerih payah untuk mengalahkan orang lain sama sekali tak berguna. Motivasi tak semestinya lahir dari rasa iri dengki. Keberhasilan sejati melahirkan kebahagiaan sejati yang tak mungkin muncul dari niat yang ternoda. Pelari yang memecahkan rekornya sendiri takkan peduli pada kemampuan orang lain. Ia berlari, dan mempercepat larinya, hanya untuk memperbaiki catatannya. Ia bertanding dengan dirinya sendiri, bukan orang lain. Keinginan untuk mengalahkan orang lain adalah awal dari kekalahan dari diri sendiri.

Lagi, Arlita menangis. Ia pun harus melawan diri sendiri. Melawan keinginan untuk bersama lagi dengan Abi Assegaf.

"Zaki Assegaf...aku mencintaimu." desah Arlita, menekapkan bantal sutra ke wajahnya.

Rindu menghantam hati. Paku-paku kesedihan menusuk jiwa. Pertahanan diri merapuh.

Setiap tindakan dan keputusan harus memiliki alasan yang kuat. Arlita punya alasan saat memutuskan tak bisa bersama Abi Assegaf lagi. Hanya dua alasannya: tak ingin mengulang kesalahan yang sama, dan tak ingin menyakiti pria itu lagi. Kepergiannya tanpa ucapan perpisahan saja sudah membuat pria itu tersakiti, apa lagi bila ia kembali. Mungkin akan ada lebih banyak luka yang tertoreh. Jika terlanjur melukai, cukup sekali saja. Janganlah terulang lagi.

**    

Di studio, Abi Assegaf pun menitikkan air mata. Ia sedih, sedih luar biasa. Pagi ini, tetiba Adica meminta izin pergi ke makam Michael Wirawan.

Entah mengapa, rasa cemburu bercampur kesedihan mengaduk perasaan. Munafik kalau ia tak mengakui kecemburuan itu. Abi Assegaf sedih. Ternyata Adica masih punya dorongan kuat ke makam Michael Wirawan setelah lama tak melakukannya.

Posesif menerbitkan rasa sakit. Biar bagaimana pun, Abi Assegaf tetap seorang ayah. Ia tahu bagaimana sakitnya. Tidak, ia tak boleh simpan luka ini sendiri. Curhat pada Allah dan orang-orang yang bisa dipercaya jauh lebih baik.

Usai siaran, Abi Assegaf meluncur ke rumah sakit. Ia menemui Calvin. Ia curahkan isi hatinya pada blogger muda orientalis itu.

"Abi, masih ingat siaran Abi tadi kan? Tentang melawan diri sendiri?" Calvin melontarkan pertanyaan.

Sedetik. Tiga detik. Lima detik, pria Jawa-Arab-Betawi itu terperangah. Belum lama ia memotivasi para pendengarnya untuk melawan diri sendiri. Bila ia kalah, sama saja ia tidak konsisten.

"Saat ini, Abi sedang melawan keengganan, kesedihan, dan kecemburuan. Kalau semua rasa itu bisa dilawan, berarti Abi menang." lanjut Calvin.

Kepala Abi Assegaf tertunduk. Dicengkeramnya rambutnya kasar. Benar, Calvin benar.

"Menurutku, cinta itu membebaskan. Abi mencintai Adica sebagai anak. Cinta tulus itu membebaskan. Cinta itu tidak mengikat, tidak bersyarat."

Tergetar hati Abi Assegaf mendengarnya. Cinta tulus itu membebaskan. Kata-kata itu terekam berulang kali di pikiran.

Calvin tersenyum melihat perubahan raut wjah Abi Assegaf. Ia mampu menyelami, ada pencerahan di sana. Pintu kecil yang semula tertutup rapat telah terbuka.

Sejurus kemudian, Abi Assegaf memeluk Calvin. Dibisikkannya ucapan terima kasih. Sejuk hatinya mendengar pencerahan dari malaikat tampan bermata sipit itu.

Tepat saat Abi Assegaf dan Calvin berpelukan, Tuan Effendi tiba. Keningnya terlipat, pancaran tidak suka terlihat jelas di matanya. Dalam hati, pria itu memohon maaf pada Tuhan. Meminta agar rasa tak suka ini dikontrol. Sungguh tak baik memendam emosi negatif pada orang lain. Padahal, Abi Assegaf tidak salah apa-apa.

"Papa?" Calvin buru-buru melepas pelukannya.

"Tidak apa-apa, Sayang." kata Tuan Effendi, suaranya tercekat.

Keheningan berlalu tak nyaman. Sekilas Abi Assegaf masih melihat sorot dingin di mata Tuan Effendi. Ya, Allah, apa salahnya hingga pria ini sebegitu tak menyukai? Ia bukanlah rival bisnis Tuan Effendi. Perkenalan mereka saja baru terjadi di rumah sakit.

"Maaf," kata Abi Assegaf.

Tuan Effendi membuang muka. Diam-diam Calvin menyesali sikap Papanya. Tak menyukai orang lain adalah hak. Namun, bukan tindakan bijak bila rasa itu diperlihatkan.

Tak lama, Abi Assegaf pamit. Dua kotak kue dan parsel buah-buahan yang tersusun cantik dia tinggalkan di atas meja.

Diiringi desahan tertahan, Tuan Effendi menjatuhkan diri ke sofa. Dibukanya parsel buah. Dikupasnya buah apel dan anggur.

"Aku mau apelnya, Pa." pinta Calvin.

Betapa herannya Calvin melihat sang Papa menggeleng. Ia malah memakan buah-buahan itu sendirian.

"Nanti Papa bawakan parsel buah yang lebih mahal untukmu. Kamu tidak boleh menyentuh apa pun pemberian Zaki Assegaf."

"Tapi kenapa, Pa?"

"My Dear Calvin, kamu sayang sama Papa, kan? Turutilah kalau begitu."

Sentimen sekali. Ini bukan Papanya. Tuan Effendi tak begitu.

"Pa, apa Papa pernah mengajarkan sikap sentimental padaku?"

Mendengar itu, Tuan Effendi tersedak potongan apelnya.

**     

Abi Assegaf setengah berlari memasuki ruang tamu berbentuk oval lengkap dengan perabotan mewah. Pria itu lupa melepas sepatunya saat menginjak karpet tebal. Seorang asisten rumah tangga yang tengah membersihkan lukisan-lukisan mahal dikagetkan dengan kedatangan tuannya.

"Dimana Adica?" tanya Abi Assegaf cepat.

"Di balkon, Tuan."

Tanpa kata lagi, Abi Assegaf naik ke balkon. Didapatinya pemuda tampan itu tertidur di sofa hitam berbentuk dadu. Adica tertidur sambil memeluk biola.

"Adica anakku...bangun, Sayang. Abi temani kamu ke makam Michael." Abi Assegaf lembut membangunkan.

Adica terbangun. Sadar dimana posisinya dan siapa yang membangunkan, ia minta maaf. Rupanya ia tertidur setelah jam minum obat. Abi Assegaf mengerti.

Dengan lembut, Abi Assegaf memapah Adica ke mobil. Anak lelakinya itu masih merasakan sakit. Biola itu pun dibawanya. Adica dan biola tak dapat dipisahkan, sama seperti Calvin dengan pianonya.

Mereka tiba di makam Michael Wirawan selang satu jam. Air disiramkan. Bunga-bunga ditaburkan. Adica dan Abi Assegaf berdoa dengan khusyuk. Bergetar hati Abi Assegaf ketika Adica membaca Yasin untuk Michael Wirawan.

Beruntungnya Michael Wirawan, pikir Abi Assegaf. Ia memiliki anak yang baik, tampan, pintar, berbakat, dan sayang pada orang tua. Tanpa bisa menahan diri, Abi Assegaf melontarkan tanya.

"Anakku, jika Abi meninggal, apa kau akan terus mendoakan Abi seperti kaudoakan Michael?"

**     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun