Lagi, Arlita menangis. Ia pun harus melawan diri sendiri. Melawan keinginan untuk bersama lagi dengan Abi Assegaf.
"Zaki Assegaf...aku mencintaimu." desah Arlita, menekapkan bantal sutra ke wajahnya.
Rindu menghantam hati. Paku-paku kesedihan menusuk jiwa. Pertahanan diri merapuh.
Setiap tindakan dan keputusan harus memiliki alasan yang kuat. Arlita punya alasan saat memutuskan tak bisa bersama Abi Assegaf lagi. Hanya dua alasannya: tak ingin mengulang kesalahan yang sama, dan tak ingin menyakiti pria itu lagi. Kepergiannya tanpa ucapan perpisahan saja sudah membuat pria itu tersakiti, apa lagi bila ia kembali. Mungkin akan ada lebih banyak luka yang tertoreh. Jika terlanjur melukai, cukup sekali saja. Janganlah terulang lagi.
** Â Â
Di studio, Abi Assegaf pun menitikkan air mata. Ia sedih, sedih luar biasa. Pagi ini, tetiba Adica meminta izin pergi ke makam Michael Wirawan.
Entah mengapa, rasa cemburu bercampur kesedihan mengaduk perasaan. Munafik kalau ia tak mengakui kecemburuan itu. Abi Assegaf sedih. Ternyata Adica masih punya dorongan kuat ke makam Michael Wirawan setelah lama tak melakukannya.
Posesif menerbitkan rasa sakit. Biar bagaimana pun, Abi Assegaf tetap seorang ayah. Ia tahu bagaimana sakitnya. Tidak, ia tak boleh simpan luka ini sendiri. Curhat pada Allah dan orang-orang yang bisa dipercaya jauh lebih baik.
Usai siaran, Abi Assegaf meluncur ke rumah sakit. Ia menemui Calvin. Ia curahkan isi hatinya pada blogger muda orientalis itu.
"Abi, masih ingat siaran Abi tadi kan? Tentang melawan diri sendiri?" Calvin melontarkan pertanyaan.
Sedetik. Tiga detik. Lima detik, pria Jawa-Arab-Betawi itu terperangah. Belum lama ia memotivasi para pendengarnya untuk melawan diri sendiri. Bila ia kalah, sama saja ia tidak konsisten.