"Saat ini, Abi sedang melawan keengganan, kesedihan, dan kecemburuan. Kalau semua rasa itu bisa dilawan, berarti Abi menang." lanjut Calvin.
Kepala Abi Assegaf tertunduk. Dicengkeramnya rambutnya kasar. Benar, Calvin benar.
"Menurutku, cinta itu membebaskan. Abi mencintai Adica sebagai anak. Cinta tulus itu membebaskan. Cinta itu tidak mengikat, tidak bersyarat."
Tergetar hati Abi Assegaf mendengarnya. Cinta tulus itu membebaskan. Kata-kata itu terekam berulang kali di pikiran.
Calvin tersenyum melihat perubahan raut wjah Abi Assegaf. Ia mampu menyelami, ada pencerahan di sana. Pintu kecil yang semula tertutup rapat telah terbuka.
Sejurus kemudian, Abi Assegaf memeluk Calvin. Dibisikkannya ucapan terima kasih. Sejuk hatinya mendengar pencerahan dari malaikat tampan bermata sipit itu.
Tepat saat Abi Assegaf dan Calvin berpelukan, Tuan Effendi tiba. Keningnya terlipat, pancaran tidak suka terlihat jelas di matanya. Dalam hati, pria itu memohon maaf pada Tuhan. Meminta agar rasa tak suka ini dikontrol. Sungguh tak baik memendam emosi negatif pada orang lain. Padahal, Abi Assegaf tidak salah apa-apa.
"Papa?" Calvin buru-buru melepas pelukannya.
"Tidak apa-apa, Sayang." kata Tuan Effendi, suaranya tercekat.
Keheningan berlalu tak nyaman. Sekilas Abi Assegaf masih melihat sorot dingin di mata Tuan Effendi. Ya, Allah, apa salahnya hingga pria ini sebegitu tak menyukai? Ia bukanlah rival bisnis Tuan Effendi. Perkenalan mereka saja baru terjadi di rumah sakit.
"Maaf," kata Abi Assegaf.