Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Tulang Rusuk Malaikat] Diskriminasi Lift

24 Oktober 2018   06:00 Diperbarui: 24 Oktober 2018   06:05 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sahabat saya sakit, Prof. Apa Anda tega...?" ujar Revan, mencoba tetap sabar.

"Saya tidak peduli! Mau sahabat kamu sakit, mau kritis, mau mati sekalipun! Peraturan tetap peraturan! Mahasiswa tidak boleh menggunakan lift khusus dosen dengan alasan apa pun!"

Ting

Pintu lift membuka. Langkahnya ringan memasuki ruangan berdinding kaca dan berpintu stainless itu. Hati-hati Adica membawa biola di tangan kanan dan tab di tangan kiri. Begitu fokusnya ia pada tujuan awal hingga melupakan aturan lama: mahasiswa dan tamu hanya boleh naik lift dari lantai dua. Hanya dosen yang boleh naik lift dari lantai satu.

Seorang pria tinggi besar dengan kulit legam dan lengan berotot masuk dari lantai dua. Tetiba tangannya melayang ke deretan tombol, lalu menahan pintu lift agar tidak menutup. Dipandanginya wajah tampan Adica, yang jelas sangat kontras dengan dirinya yang tidak rupawan.

"Lupa aturan? Atau pura-pura tidak tahu?" ketus pria itu. Ternyata ia dosen berstatus Lektor.

"Mahasiswa tidak boleh naik dari lantai satu. Keluar!"

Kasar, kasar sekali. Begitukah sikap seorang pendidik sejati? Ia tak tahu, sungguh tak tahu. Lektor itu tak merasakan sulitnya menjadi penderita Granulomatosis Wegener. Benar-benar dosen miskin empati. Dengan wajah dingin dan beku, Adica melangkah keluar. Lantai koridor di bawah kakinya serasa berputar.

Dingin, tangan Calvin dingin dan bergetar. Silvi menciumi tangan Calvin. Lembut menempelkannya ke pipi.

"Sorry Calvin, sorry..." Ia memohon maaf berkali-kali.

Revan berlutut di depan kursi roda. "Dosen tak punya empati! Biar kulaporkan dia ke Dekkan!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun