"Sahabat saya sakit, Prof. Apa Anda tega...?" ujar Revan, mencoba tetap sabar.
"Saya tidak peduli! Mau sahabat kamu sakit, mau kritis, mau mati sekalipun! Peraturan tetap peraturan! Mahasiswa tidak boleh menggunakan lift khusus dosen dengan alasan apa pun!"
Ting
Pintu lift membuka. Langkahnya ringan memasuki ruangan berdinding kaca dan berpintu stainless itu. Hati-hati Adica membawa biola di tangan kanan dan tab di tangan kiri. Begitu fokusnya ia pada tujuan awal hingga melupakan aturan lama: mahasiswa dan tamu hanya boleh naik lift dari lantai dua. Hanya dosen yang boleh naik lift dari lantai satu.
Seorang pria tinggi besar dengan kulit legam dan lengan berotot masuk dari lantai dua. Tetiba tangannya melayang ke deretan tombol, lalu menahan pintu lift agar tidak menutup. Dipandanginya wajah tampan Adica, yang jelas sangat kontras dengan dirinya yang tidak rupawan.
"Lupa aturan? Atau pura-pura tidak tahu?" ketus pria itu. Ternyata ia dosen berstatus Lektor.
"Mahasiswa tidak boleh naik dari lantai satu. Keluar!"
Kasar, kasar sekali. Begitukah sikap seorang pendidik sejati? Ia tak tahu, sungguh tak tahu. Lektor itu tak merasakan sulitnya menjadi penderita Granulomatosis Wegener. Benar-benar dosen miskin empati. Dengan wajah dingin dan beku, Adica melangkah keluar. Lantai koridor di bawah kakinya serasa berputar.
Dingin, tangan Calvin dingin dan bergetar. Silvi menciumi tangan Calvin. Lembut menempelkannya ke pipi.
"Sorry Calvin, sorry..." Ia memohon maaf berkali-kali.
Revan berlutut di depan kursi roda. "Dosen tak punya empati! Biar kulaporkan dia ke Dekkan!"