"Sudah sampai, Tuan Muda." kata sang supir takzim.
Adica mengemas kembali biolanya. Ia tersenyum berterima kasih, lalu turun dari mobil. Langkahnya sedikit limbung memasuki gedung putih lima lantai itu. Ia tahu kemana harus mencari Syifa. Tanpa disadari, mata supir keluarga itu lekat mengikuti. Lekat menyimpan cemas di hati, mengamati betapa rapuh dan gegabah tuan mudanya.
"Gegabah?" Calvin tertawa kecil. Diusapnya rambut panjang Silvi.
"Tidak, Silvi. Aku hanya bosan di rumah sakit. Dan aku rindu kampusku."
Silvi menatap putus asa Calvin, lalu ganti mengarahkan tatapan pada kakaknya. Revan hanya terdiam, menatap hampa deretan lift. 20 menit mereka berdiri di situ. Lift-lift itu penuh saja, tak menyisakan spasi cukup luas.
Seorang mahasiswi berbaju terusan soft pink di depan mereka menggerutu kesal. Sejurus kemudian ia berbalik, berjalan cepat menaiki tangga. Muak lama-lama menunggu lift.
Andai Calvin tahu, Revan dan Silvi makin hopeless. Waktu sudah menipis. Lift-lift khusus mahasiswa tak juga menampakkan tanda keberpihakan. Baiklah, mungkin nekat memakai lift dosen tak masalah.
"Tak masalah, Syifa...tunggu aku ya. Sebentar lagi aku ke atas." Adica berkata menenangkan, lalu mengakhiri FaceTime singkatnya.
Gedung putih dengan pilar-pilar tinggi ini, keramik mahal berpola sama ini, mengingatkan Adica pada almamaternya. Ini bukan fakultasnya, tetapi mirip sekali. Ya, Allah, rindunya ia dengan tempat semacam ini. Sama sekali tak rindu teman sekelas ataupun dosennya, hanya rindu suasana dan prestasi akademik saja. Kalau saja ia sembuh, sekarang saatnya mengobati rindu dan menuntaskan fase yang sempat tak selesai. Semalam Abi Assegaf sempat mengatakan tentang rencana kuliah ke luar negeri bila segala sakit teratasi. Namun, itu masih lama.
"Lama? Hanya karena lama?"
Lelaki separuh baya dengan rambut beruban itu bertolak pinggang. Lift bergemeretak naik, menimbulkan sensasi aneh di dasar perut mereka. Silvi mencengkeram erat pegangan kursi roda, mau tak mau gentar dengan sikap intimidatif dosen senior di depannya ini.