"Jangan...tidak usah. Sungguh, aku tidak apa-apa." lirih Calvin.
"Tidak apa-apa bagaimana? Kau sepucat mayat hidup, Adica!" jerit Syifa setengah histeris. Mengabaikan tatapan kaget teman-temannya. Kemunculan pemuda setampan Adica dengan biola dan inisiatif mengantarkan tab yang tertinggal tanpa diminta sungguh memesonakan para gadis di kelas itu.
"Adica, jangan bilang tadi kau naik tangga." Desah Syifa khawatir.
Tanpa jawaban pun, semuanya jelas. Wajah Adica pucat pasi. Langkah setengah limbung yang tak lagi tegap dan ringan. Pancaran rasa sakit di mata itu...demi apa pun, Syifa tak tega.
"I know. Berat bagimu naik tangga...aku paham sekali, Adica Sayang."
Nada suara Syifa melembut. Pelan diambilnya tas biola dan tab. Ia letakkan dua benda itu di bangku. Syifa merengkuh Adica dalam dekap hangatnya. Adica dan Syifa berpelukan, erat dan lama. Dunia boleh jadi milik mereka berdua.
Seisi kelas tertegun. Tak pernah sebelumnya, Asyifa Assegaf yang mereka kenal begitu cantik, populer, dan kaya, dekat dengan seorang pemuda. Sungguh baru kali ini, mereka lihat putri tunggal Zaki Assegaf terlihat sangat mencintai makhluk Tuhan bernama pria. Sehebat apa Adica sampai bisa meluluhkan hati Syifa?
"Dia bukan apa-apa...hanya Profesor di tengah kumpulan mahasiswa bodoh. Sudah jadi Profesor sesombong itu, bagaimana kalau jadi pimpinan?" kecam Revan.
Calvin dan Silvi hanya diam. Hancur sudah mood kakak-beradik Manado Borgo bermata biru itu untuk mengikuti kelas. Mereka kecewa berat dengan sikap pendidik kurang sejati.
"...Iya, pendidik sejati tidak akan mendiskriminasi orang lain. Lanjutkan, Sayang. Curahkan semua padaku."
Syifa membelai hangat punggung Adica. Pelukannya tak ia lepas. Stay cool saja dengan reaksi berlebihan para gadis dan tatapan iri para pemuda.