"Tuan muda, apa sebaiknya Tuan tidak kembali ke kamar saja? Dingin sekali..."
Tak sempat ia menjawab. Susu hangat di gelasnya baru setengah jalan ia reguk. Rasa mual naik ke perutnya. Mual yang menghebat, membuatnya muntah dan gagal menelan. Adica kembali muntah ketika menggigit potongan rotinya. Begitu parah rasa mual itu hingga membuatnya tak bisa makan.
"Parah...kenapa kamu ajak Calvin ke sini?" bisik Revan marah saat melihat SUV putih itu menepi. Firasatnya tak enak. Namun, mana mungkin dicegah? Pria berambut pirang dan bermata biru itu mendesah. Pasrah ditatapinya Silvi yang tengah mendorong kursi roda Calvin pelan-pelan.
Pelan, satu pelayan lainnya menggeser pintu kaca. Kembali dibersihkannya lantai yang terkena sisa muntahan. Adica tak enak hati. Ia telah merepotkan pelayan itu. Pandangannya tertumbuk ke arah tas kecil di sudut sofa. Ketika dibuka, isinya tab. Tulisan tangan Syifa tertera di bagian belakang tas itu. Tahulah Adica, barang penting gadisnya tertinggal. Hanya orang apatis miskin inisiatif yang akan diam saja.
** Â Â
Sabar, sabarlah cintaku
Hanya sementara
Kau harus dengannya
Kau harus bersamanya kini
Sabar, sabarlah cintaku