"Kau tahu, aku tak cukup kuat naik tangga? Berkali-kali aku hampir jatuh, Syifa. Dan...sebelum aku ke sini, aku merasa sangat mual sampai tak bisa..."
Hati Syifa tersayat pedih. Ia eratkan pelukannya. Bisakah rasa sakit dipindahkan? Jika bisa, ingin sekali Syifa memindahkan sakit Adica ke tubuhnya. Biar dirinya saja yang merasakan sakit.
Elusan lembut Syifa mengalirkan kenyamanan. Adica memejamkan mata sesaat, bersandar di pelukan gadisnya.
Sungguh, Syifa mengerti. Dia paham bagaimana rasanya menjadi Adica. Dengan halus, diraihnya tangan Adica. Dipapahnya tubuh itu ke luar kelas.
"Kita pulang ya...aku temani kamu. Aku takkan meninggalkanmu. Kau bisa istirahat lebih nyaman di rumah. Lupakan kejadian tadi, ok?"
Ada rasa sakit, ada penawarnya. Syifa terus menenangkan dan menyabar. Tuan putri menyabarkan tuan muda. Jika sudah begini, tak ada yang bisa memisahkan mereka.
Tiba di lorong dengan jajaran lift di kanan-kirinya, Syifa melempar pandang benci. Ternyata almamaternya tak ramah pada orang-orang istimewa. Tidak, jangan harap Syifa akan menyebut warga difabel dan orang berpenyakit serius sebagai orang tak berguna. Ia lebih suka menyebut mereka istimewa. Ironisnya, kampusnya yang megah dan prestise itu masih diskriminatif.
Bisikan-bisikan penuh tanya di belakang punggungnya ia hiraukan. Fokus perhatiannya tercurah hanya untuk pemuda tampan di sampingnya. Tuan putri konglomerat sungguh-sungguh telah terpanah asmara.
"Syifa, kau mau telepon siapa?" tanya Adica lirih. Menerima tas biola karena gadis itu meminta dipegangkan sebentar.
"Abi. Biar Abi bereskan orang-orang diskriminatif itu. You know-lah, Abi kita kan donatur terbesar di yayasan universitas ini. Aku tak mau kuliah di kampus yang diskriminatif pada orang-orang istimewa. Sabar ya, Sayang...kupastikan ini hanya akan terjadi satu kali."
Adica terenyak. Kasih akan menang, diskriminasi dan prasangka terkalahkan.