Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Tulang Rusuk Malaikat] Lonceng Gereja, Air Mata, dan Cerita Duka

19 Oktober 2018   06:00 Diperbarui: 19 Oktober 2018   06:10 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: pixabay.com

Kelima gadis dan pemuda itu tertawa, bercanda, dan bernyanyi di mobil. Perjalanan jauh tak lagi terasa karena mereka sangat menikmatinya. Segala rasa sakit, sedih, dan luka terangkat perlahan.

"Dinda...dimana kau berada." Calvin, Silvi, Revan, Adica, dan Syifa bernyanyi bersamaan.

Mereka saling lirik. Awalnya tak suka lagu yang terputar di radio mobil, tapi lama-lama mereka menyukainya. Abi Assegaf hanya tersenyum. Lekat memperhatikan mereka dari kaca. Ia senang menyaksikan keakraban mereka berlima. 

Tak sia-sia ia simpan Honda Jazz merahnya di garasi dan ganti mengendarai Toyota Vellfire untuk memastikan mereka tetap bersama pagi ini.

Sulit juga mendapat izin Dokter Tian. Setelah melalui diskusi alot, akhirnya Hematolog itu meluluskan permintaannya. 

Calvin dan Adica boleh keluar sebentar dari rumah sakit dengan satu syarat: kondisi mereka harus dipantau ketat selama bepergian.

"Katanya nggak suka, kok kamu hafal liriknya sih?" Syifa menanyai Adica, mengedip nakal.

"Aku kan penyiar radio. Harus punya wawasan musik yang luas, Syifa." jawab Adica sabar.

Syifa mengangguk. Sedetik kemudian, Silvi mencolek lengannya.

"Memangnya broadcaster aja yang punya pengetahuan musik? Aku, Calvin, dan Revan juga gitu kaliii...tahu kan reputasi kami?"

"Iya, tahulah. Satu mantan peragawan yang sekarang lebih suka jadi blogger, satu mantan penyiar, satunya lagi masih aktif jadi model."

Mendengar perkataan Syifa, senyuman Calvin memudar. Pemuda berkacamata itu terpaksa mengubur mimpinya untuk meneruskan karier sebagai peragawan. 

Berjalan biasa saja ia sering jatuh, bagaimana mau membuat gerakan memutar di runway? Semuanya berubah sejak leukemia menyerang.

"Sudahlah...kalau rezekimu di modeling, itu takkan kemana. Kamu kan bisa modeling lagi saat sudah sembuh nanti." hibur Revan.

Calvin tertunduk dalam. Pertanyaannya, apakah dia bisa sembuh? Tak ingin terlalu lama larut dalam kesedihan, Calvin mengeluarkan iPadnya. Ia buka laman blog miliknya, ia tuliskan artikel di dashboard. Selesai, lalu posting.

Bila Calvin menyibukkan diri dengan blognya, Revan dan Silvi asyik dengan kamera mirrorless. Adica melempar pandang rindu ke arah kamera di tangan mereka berdua. 

Sudah lama ia tak hunting foto lagi. Kameranya ada di rumah keluarga Wirawan. Satu-satunya benda pemberian Michael Wirawan yang masih ia miliki hanyalah biola.

"Adica anakku, kamu rindu kameramu ya? Nanti Abi belikan..." ujar Abi Assegaf halus.

"Tidak usah, Abi. Aku..."

"Terima saja. Abi kan sayang banget sama kamu." sela Syifa.

Mobil hitam itu melaju menaiki bukit. Udara bertambah sejuk. Barisan pepohonan berjajar di kanan-kiri. 

Silvi mencuri momen, memotreti pemandangan indah itu. Revan berbaik hati meminjamkan kameranya pada Adica, membiarkan pemuda itu mengambil gambar demi gambar.

Mereka melewati kebun teh, beberapa cafe, dan pabrik susu. Tak lama, mobil berhenti di depan dua bangunan putih: sebuah villa mewah berkamar tiga dan sebentuk gereja kecil. Demi melihat dua bangunan putih itu, Syifa terbelalak kaget.

"Abi, ini kan rumah Oma..." desis Syifa.

Wajah Syifa berubah sendu. Refleks ia merapatkan tubuh pada Adica. Dengan lembut, Adica memeluknya. Menenangkan Syifa tanpa kata.

Ketika Syifa tak juga tenang, Adica memainkan biolanya. Calvin cepat tanggap. Ia keluarkan piano digital, piano mahal dengan sampling suara dari grand piano. Tanpa rencana, Adica dan Calvin memainkan instrumen musik mereka.


Tak pernah kubayangkan secepat ini

Aku takutkan pernah terjadi adanya

Perbedaan mengalahkan rasa

Dan kita menyerah kalah akan keadaan

Kauputuskan pergi

Melepaskan kita

Tuhan kita cuma satu

Kita yang berbeda

Hingga tak mungkin menyatu

Cinta yang terluka

Kuterima semua ini sebagai rahasia

Biar kusimpan selamanya

Kau di hatiku...

Piano Calvin berdenting lembut. Biola Adica mengalun pedih. Suara barithon Revan berpadu indah dengan suara sopran Silvi. Abi Assegaf berdiri terpaku, terhipnotis lagu yang mereka bawakan. Air mata Syifa tumpah.

Pekat malam jangan membuat resah

Hadapilah ini sebagai pelajaran hidup

Kauputuskan pergi

Melepaskan kita

Tuhan kita cuma satu

Kita yang berbeda

Hingga tak mungkin menyatu

Cinta yang terluka

Kuterima semua ini sebagai rahasia

Biar kusimpan selamanya kau di hatiku

Tuhan kita cuma satu

Kita yang berbeda

Hingga tak mungkin menyatu

Cinta yang terluka

Kuterima semua ini sebagai rahasia

Biar kusimpan selamanya

Kau di hatiku

Kau di hatiku (Virzha-Kita yang Beda).

Adica dan Calvin berduet dengan alat musik mereka. Di refrain kedua, mereka tak hanya bermain musik. Keduanya pun ikut bernyanyi. Duet memikat Calvin Wan dan Adica Wirawan.

"Abi, untuk apa kita ke rumah Oma?" tangis Syifa. Segera saja ia dirangkul Abi Assegaf.

"Abi hanya ingin menunjukkan...di sinilah awal cerita duka cinta terlarang itu."

"Buat apa membuka luka lama, Abi?"

Tepat pada saat itu, lonceng gereja berdentang. Waktunya doa Angelus, doa malaikat Tuhan. Abi Assegaf menyeka matanya.

"Adica, Calvin, Revan, Silvi, ini rumah Opa-Omanya Syifa dari pihak ibu. Mendiang Opa dan Omanya Syifa sangat rajin beribadah. 

Mereka tak pernah absen ikut Misa Harian. Sering berdoa Rosario, aktif di Legio, pokoknya mereka begitu religius. Lalu, Abi jatuh cinta pada Arlita, Umminya Syifa."

Cerita duka mengalir ditingkahi deru angin. Langit seputih mutiara seakan ikut mendengarkan. Adica, Calvin, Revan, dan Silvi sabar menyimak. Meereka ikut merasakan ketegangan bercampur kesedihan.

"Mereka tak merestui cinta Abi dan Arlita. Waktu itu, Arlita nekat pindah agama tanpa sepengetahuan orang tuanya. 

Kami memutuskan kawin lari. Bertahun-tahun lewat, lahirlah Syifa. Kelahiran Syifa tak juga meluluhkan hati mereka. Sampai akhirnya...Arlita pergi. Arlita pergi meninggalkan Abi malam itu. Tanpa ucapan selamat tinggal, tanpa kata."

Biola Adica nyaris jatuh. Kacamata Calvin berembun. Sepasang kakak-beradik bermata biru tergugu. Syifa menangis lagi.

Tertatih Adica mendekati Abi Assegaf. Dipeluknya pria berlesung pipi itu. Mata Abi Assegaf memerah, begitu pula ujung hidungnya.

"Syifa benar. Tak seharusnya luka lama dibuka lagi." bisik Adica setelah melepaskan pelukannya.

"Abi sayang sama kamu. Abi percaya padamu. Hanya orang-orang terdekat yang pernah Abi ajak ke sini. Agar mereka mengambil pelajaran hidup dari kisah duka."

Revan mengusap wajah letihnya. Ingatan akan kisah cintanya yang identik berputar-putar. Tak tahan dengan kesedihan, Silvi memeluk Calvin.

"Calvin, aku takut..." Silvi mendesah, matanya digenangi kristal bening. Begitulah yang biasa dilakukan Silvi tiap kali dia ketakutan: mencari ketenangan dari malaikat tampan bermata sipitnya.

"Jangan takut, Silvi. Simpanlah air matamu hanya untuk kebahagiaan. Air matamu terlalu berharga bila diteteskan dalam kesedihan." kata Calvin lembut. Ia peluk gadis blasteran secantik dan seanggun Princess itu.

Adegan berpelukan ala Calvin-Silvi tak luput dari radar pandangan mata Adica. Lihatlah, betapa lembutnya Calvin memperlakukan Silvi. Pintar sekali Calvin menenangkan Princessnya. Ia juga bisa seperti itu pada Syifa. Why not?

Dalam gerakan slow motion, Adica merengkuh Syifa ke pelukannya. Syifa melanjutkan isakannya di pelukan Adica. Walau tak banyak kata selembut Calvin, kehadirannya saja sudah menyamankan hati Syifa.

"Oh, sorry..." Syifa meminta maaf, menyeka hidungnya.

"No problem. Kau memang butuh tubuh lain untuk bersandar. Gunakan saja milikku, meski tubuh ini rapuh dan menunggu."

Menunggu apa? Tak sempat tanya itu terlontar, Syifa merasakan beban berat di bahunya. Adica merasakan sakit, wajahnya memucat. Ia sandarkan berat tubuhnya pada Syifa.

"Are you ok?" tanya Syifa khawatir.

"Dingin, Syifa...dingin." rintih Adica berulang-ulang.

Kepanikan menebar. Syifa mengeratkan pelukannya. Tak tega melihat laki-laki pujaan hatinya kesakitan. Disalurkannya kehangatan dan kekuatan lewat pelukan.

Besar harapannya, rasa sakit Adica berpindah ke tubuhnya saja. Bisakah rasa sakit dipindahkan?

Sakit itu adalah pertanda. Pertanda mereka harus secepatnya kembali ke rumah sakit. Detik berikutnya, Adica muntah. 

Syifa tidak peduli bajunya dikotori darah dan muntahan. Tak peduli pula karena secara tak langsung ia telah kontak dengan obat kemoterapi.

Syifa berbisik menguatkan. Lembut dipapahnya Adica ke mobil. Abi Assegaf, Calvin, Revan, dan Silvi bergegas mengikuti dengan kekhawatiran menggelembung.

Hanya satu yang tercatat di benak Syifa saat ini. Dia takkan meninggalkan Adica, sama seperti Abinya yang selalu ada. Salah satu bukti cinta adalah selalu ada untuk dia yang dicintai.

**     

This story dedicate for Ronald Wan, Zaki Assegaf, and 97.6 FM RRI Pro 1 Bandung

Eksklusif

Paris van Java, 19 Oktober 2018

Kisah cantik, dari Young Lady cantik bermata biru dan bergaun putih

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun