Cerita duka mengalir ditingkahi deru angin. Langit seputih mutiara seakan ikut mendengarkan. Adica, Calvin, Revan, dan Silvi sabar menyimak. Meereka ikut merasakan ketegangan bercampur kesedihan.
"Mereka tak merestui cinta Abi dan Arlita. Waktu itu, Arlita nekat pindah agama tanpa sepengetahuan orang tuanya.Â
Kami memutuskan kawin lari. Bertahun-tahun lewat, lahirlah Syifa. Kelahiran Syifa tak juga meluluhkan hati mereka. Sampai akhirnya...Arlita pergi. Arlita pergi meninggalkan Abi malam itu. Tanpa ucapan selamat tinggal, tanpa kata."
Biola Adica nyaris jatuh. Kacamata Calvin berembun. Sepasang kakak-beradik bermata biru tergugu. Syifa menangis lagi.
Tertatih Adica mendekati Abi Assegaf. Dipeluknya pria berlesung pipi itu. Mata Abi Assegaf memerah, begitu pula ujung hidungnya.
"Syifa benar. Tak seharusnya luka lama dibuka lagi." bisik Adica setelah melepaskan pelukannya.
"Abi sayang sama kamu. Abi percaya padamu. Hanya orang-orang terdekat yang pernah Abi ajak ke sini. Agar mereka mengambil pelajaran hidup dari kisah duka."
Revan mengusap wajah letihnya. Ingatan akan kisah cintanya yang identik berputar-putar. Tak tahan dengan kesedihan, Silvi memeluk Calvin.
"Calvin, aku takut..." Silvi mendesah, matanya digenangi kristal bening. Begitulah yang biasa dilakukan Silvi tiap kali dia ketakutan: mencari ketenangan dari malaikat tampan bermata sipitnya.
"Jangan takut, Silvi. Simpanlah air matamu hanya untuk kebahagiaan. Air matamu terlalu berharga bila diteteskan dalam kesedihan." kata Calvin lembut. Ia peluk gadis blasteran secantik dan seanggun Princess itu.
Adegan berpelukan ala Calvin-Silvi tak luput dari radar pandangan mata Adica. Lihatlah, betapa lembutnya Calvin memperlakukan Silvi. Pintar sekali Calvin menenangkan Princessnya. Ia juga bisa seperti itu pada Syifa. Why not?