Hati Calvin dibanjiri rasa dingin. Dingin yang mematikan. Ia tertunduk dalam, wajahnya pucat pasi seolah aliran darahnya telah terhenti.
"Kamu ini suami tak berguna, Calvin. Tapi, aku masih bertoleransi. Kalau tidak, sudah kuceraikan kamu dari dulu." ucap Silvi tajam.
Marahkah Calvin? Tentu saja. Tapi, kesedihan menggumpal lebih besar dari kemarahan.
"Ingatkah kau apa yang telah kita lakukan?" bisik Calvin, tangannya terkepal erat.
"Kita sudah menikah, Silvi. Lalu, kau mendapatkan anak dari pria lain. Pria yang..."
"Pria yang kausia-siakan, pria yang kaupisahkan dari almarhumah istri dan anak-anaknya."
Selingkuh hati berbalas selingkuh fisik. Sungguh sadis. Sesungguhnya, Calvin dan Silvi tengah saling menyakiti.
"Kau sadis, Silvi..." lirih Calvin.
Menahan amarah, Silvi membanting test packnya dan berteriak. "Lebih sadis mana, kau atau aku?!"
"Kau yang lebih sadis, Silvi! Kau sadis padaku, sadis pada Adica!" Calvin balas berteriak. Sungguh, baru kali ini Calvin meneriaki Silvi. Sebelumnya, menaikkan nada suara seoktaf pun tak pernah.
"Aku dan Adica sama-sama memuluskan jalan untuk balas dendam padamu!"