Pernahkah kaurasakan saat-saat dimana pasanganmu tak lagi mencintai karena mengetahui kekuranganmu? Pasti hatimu sakit sekali bila merasakannya. Kalau kau ingin tahu lebih jauh sesakit apa rasanya, tanyakanlah pada sosok tinggi semampai yang baru saja menepikan mobilnya di halaman rumah besar ini.
Sosok tampan itu turun dari mobil. Tangan kanannya menenteng sebuket bunga lily putih. Sementara itu, tangan kirinya memegang paper bag berisi sekotak coklat. Dipercepatnya langkah melintasi halaman berumput. Melewati air mancur tiga tingkat berbentuk mutiara. Anak-anak tangga pualam penghubung teras dan halaman depan ia naiki dua-dua sekaligus.
Tak lama, jari-jari lentik pria oriental itu telah memegang handel pintu putih. Pelan diputarnya. Pintu mengayun terbuka. Memperlihatkan kilasan sebuah ruang tamu oval berukuran luas, dipenuhi sofa Chesterlief, meja marmer, dan lampu kristal Swarrowski.
"Princess Silvi, I'm home."
Nada antusias tertangkap kuat dalam suara bassnya. Pria berjas hitam itu berharap, sangat berharap, mendapat sambutan hangat.
Tak ada respon. Hanya terdengar derap langkah lembut yang teredam permadani. Selang dua menit, sesosok wanita cantik bermake up pucat dan bergaun hitam muncul di depannya. Mata biru si wanita menyapu sang pria dari atas ke bawah. Menginspeksi penampilannya. Tetap sempurna, pikirnya kecewa.
"Tumben pulang jam segini," komentar wanita itu ketus.
"Aku merindukanmu, Silvi."
Ucapan tulus sang pria dibalas senyum sinis Silvi. Ia bertolak pinggang, berkata dingin.
"Kukira kau tak merindukanku, Calvin."
Tak tahukah Silvi bila Calvin merindukannya? Tak taukah wanita Minahasa-Portugis-Turki itu kalau suami orientalisnya ingin selalu di sisinya?
Pulang lebih awal hanyalah kejutan awal. Surprise berikutnya lebih manis. Semanis coklat yang dibawakan Calvin untuk istrinya.
Silvi menerima dua benda kesukaannya dengan wajah datar. Dalam hati, ia paham. Kotak coklat yang terbungkus rapi dalam paper bag itu tidaklah murah. Begitu juga white lily. Satu white lily hand buquet harganya menyentuh angka empat ratus ribu. Hampir satu juta Calvin keluarkan untuk mencoba menyenangkan hati Silvi. Mungkin terdengar over price bagi kebanyakan orang. Tapi percayalah, Calvin lebih dari sekedar mampu untuk melakukannya tiap hari. Ia berikan semua itu dengan tulus tanpa tendensi. Sekalipun reaksinya seperti...
"Aku tidak pernah mengharapkanmu pulang cepat dan memberi benda-benda ini!" geram Silvi. Membuka kotak coklat, menumpahkan isinya ke lantai. Melempar buket bunga hingga menghantam dinding.
Demi Allah, senyuman tulus itu masih menghias wajah Calvin. Ia tetap tersenyum sabar.
"Say love with flower," ujar Calvin, berjalan memutari Silvi dan mengambil buket bunga.
"Kandungan flavoid dalam coklat bisa meningkatkan mood."
Ia membungkuk, memunguti coklat yang tertumpah. Silvi memandangnya jijik.
"Menjijikkan! Makanan jatuh ke lantai, kauambil lagi!" kecamnya.
"Apa tidak boleh?" Calvin membalas, tetap lembut.
Kedua tangan Silvi terkepal di samping tubuhnya. Menatap Calvin nanar, ia salurkan kebencian mendalam. Maskara pun tak mampu menyembunyikan pancaran benci dan kecewa.
Calvin melirik Silvi lewat manik mata. Dingin, selalu dingin. Tak pernah berubah setiap hari. Kapankah kebekuan akan mencair?
Tanpa kata, Silvi berbalik ke pintu di ujung ruang tamu. Pintu membuka ke arah lorong panjang berdinding krem yang memisahkan ruang tamu dengan ruangan-ruangan lainnya. Kau mungkin akan teringat Maze, labirin di Harry Potter 4 yang menjadi tugas terakhir dalam Turnamen Triwizard. Hanya saja, yang satu ini tidaklah gelap dan suram. Justru kesannya hangat dan hommy.
Calvin bergegas mengikutinya. Ruang makan, esanalah Silvi membawa kakinya melangkah. Jam kuno Westminster berdentang enam kali dari arah ruang keluarga.
Delapan kursi mahal berjajar mengelilingi meja besar cinamon glaze di ruang makan. Alunan Mozart Hafner in d' Major no. 35 terdengar. Pumpkin and gorgonzola soup, vitello ala provenyale, dan creamy cheesecake toped with strawberry disajikan. Enam asisten rumah tangga memastikan majikan muda mereka makan malam dengan tenang.
"So, how is your day?" tanya Silvi tanpa menatap wajah Calvin.
"It's a good day. Meeting tepat waktu, rencana membangun cabang keenam gerai, dan..."
Kisah-kisah serunya mengurus perusahaan retail mengalir lancar. Hanya pada Silvi Calvin berbicara seterbuka ini. Dengan orang lain, jangan harap ia akan banyak bicara.
"Stop." Silvi mengangkat tangan, kali ini menatap tajam suaminya.
"Siapa yang memintamu bercerita? Aku hanya tanya, bagaimana harimu. Bukan meminta cerita."
Calvin terenyak. Selalu begitu. Sungguh, selalu begitu.
Sisa waktu makan malam berlalu dalam hening. Keduanya melakukan table manner dengan sempurna. Tanpa cela. Hanya alunan musik klasik yang terus menemani.
Usai makan malam, Calvin meraih tangan Silvi. Menuntunnya ke lantai atas. Kini, Silvi menurut dalam diam. Membiarkan saja Calvin membawanya ke ruang kerja.
"Silvi, temani aku menulis artikel. Mau, kan?"
Silvi mengangguk kaku. Calvin tersenyum, pelan mengucap terima kasih. Keduanya duduk bersisian. Lagi-lagi tak banyak kata.
"Mungkin aku akan lebih lama dari biasanya, Silvi. Lagi pula, besok libur kan? Banyak waktu..."
Diam, hanya diam yang menggantung. Sudah biasa Calvin dengan situasi ini. Ia seakan bicara dengan boneka cantik yang hidup. Boneka cantik yang memendam kecewa dan benci.
Lama sekali ruang kerja bernuansa coklat gelap itu dikuasai keheningan. Sekali lihat saja, Silvi langsung tahu apa yang ditulis pria pendamping hidupnya. Ulasan menarik tentang pajak dan hutang. Artikel brilian dari pakarnya. Mau tak mau, Silvi mengagumi Calvin.
Setengah jam menulis, Calvin berhenti sejenak. Merangkul hangat pundak Silvi. Mengecup puncak kepalanya. Pelan berbisik,
"Kau pasti lelah ya, Sayang. Atau bosan? Mau tidur duluan?"
Tanpa menyahut, Silvi melepas kasar rangkulan Calvin. Ia melompat bangkit. Mengibaskan rambut panjangnya. "Aku bosan setiap malam menemanimu menulis! Kaupikir aku akan berubah?! Jangan harap!"
Hardikan Silvi sempurna membuat Calvin tertunduk. "Aku hanya berusaha memperbaiki..."
"Memperbaiki apa?! Infertil tetaplah infertil! Itulah kau, Calvin Wan!"
Dengan kata-kata itu, Silvi berbalik dan berjalan pergi. Meninggalkan Calvin dalam luka.
** Â Â Â Â
Kau meminta padaku
Sepenggal kata
Namun aku berikan cerita
Ku meminta padamu
Seberkas cahaya
Namun yang kauberikan kegelapan
Hanya kenangan yang tersisa
Hanya dalam sepenggal kisah
Hingga kerapuhan terasa
Dan erinduan memaksa
Tiada sekejap ku terdiam
Tiada sekejap ku merasakan
Ku menanti namun kau menghilang
Tanpa bahasa
Kau selalu mengira
Ku tak merindumu
Namun aku selalu di sisimu
Ku selalu mengira
Kau mengharapkanku
Namun engkau tak pernah rindukanku
Hanya kenangan yang tersisa
Hanya dalam sepenggal kisah
Hingga kerapuhan terasa
Dan kerinduan memaksa
Tiada sekejap ku terdiam
Tiada sempat ku merasakan
Ku menanti namun kau menghilang
Tanpa bahasa (Afgan-Tanpa Bahasa).
Piano berdenting lembut. Kata demi kata dinyanyikan. Calvin bernyanyi dan bermain piano dalam kesedihan.
Setiap orang memiliki cobaannya sendiri. Begitulah hidup. Kini, Calvin tersadar. Tersadar bahwa dirinya bukanlah orang biasa. Ada sesuatu dalam tubuhnya yang membuatnya tak bisa jadi orang biasa.
Pria-pria seusianya rerata sudah memiliki satu-dua anak. Bahagia dengan keluarga kecil. Tinggal mengisi hidup dengan mencintai istri dan membesarkan buah hati. Sementara dirinya? Keturunan saja tak punya. Jangankan keturunan, kesehatan pun tidak termiliki.
Buat apa banyak harta tapi tak sehat? Buat apa segala kemewahan tanpa kebahagiaan sejati? Calvin rela menukar aset, tiga rumah mewah, dua villa, enam mobil pribadi, saham, dan lima gerai supermarketnya demi keturunan dan kembalinya senyum Silvi.
Calvin tenggelam, tenggelam dalam duka. Ya, Allah, sampai kapankah Silvi akan membencinya? Sudahkah cintanya memudar? Kemanakah janji pernikahan yang dulu ia ucapkan di depan Allah dan para malaikatNya? Kemanakah panggilan sayang itu, keikhlasan itu, ujaran penuh cinta itu, perlakuan manis di awal dan akhir hari itu?
Nampaknya, setan merampok ingatan Silvi. Membuatnya lupa. Menggelapkan mata hatinya.
Silvi tak paham. Malaikat tampan bermata sipit itu sakit dan terluka. Bukan hanya ginjalnya, tetapi juga hatinya. Terutama saat vonis itu jatuh. Support, bukan ekspresi kebencian yang dibutuhkan Calvin.
Andai semuanya tak begini. Andai saja wanita itu masih ada. Wanita? Astaga, Calvin memikirkan wanita lain.
"Karima...Calisa."
Di luar kesadarannya, Calvin menyebut sepotong nama.
** Â Â
To be continue...
Tomorrow...
** Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H