"Silvi, temani aku menulis artikel. Mau, kan?"
Silvi mengangguk kaku. Calvin tersenyum, pelan mengucap terima kasih. Keduanya duduk bersisian. Lagi-lagi tak banyak kata.
"Mungkin aku akan lebih lama dari biasanya, Silvi. Lagi pula, besok libur kan? Banyak waktu..."
Diam, hanya diam yang menggantung. Sudah biasa Calvin dengan situasi ini. Ia seakan bicara dengan boneka cantik yang hidup. Boneka cantik yang memendam kecewa dan benci.
Lama sekali ruang kerja bernuansa coklat gelap itu dikuasai keheningan. Sekali lihat saja, Silvi langsung tahu apa yang ditulis pria pendamping hidupnya. Ulasan menarik tentang pajak dan hutang. Artikel brilian dari pakarnya. Mau tak mau, Silvi mengagumi Calvin.
Setengah jam menulis, Calvin berhenti sejenak. Merangkul hangat pundak Silvi. Mengecup puncak kepalanya. Pelan berbisik,
"Kau pasti lelah ya, Sayang. Atau bosan? Mau tidur duluan?"
Tanpa menyahut, Silvi melepas kasar rangkulan Calvin. Ia melompat bangkit. Mengibaskan rambut panjangnya. "Aku bosan setiap malam menemanimu menulis! Kaupikir aku akan berubah?! Jangan harap!"
Hardikan Silvi sempurna membuat Calvin tertunduk. "Aku hanya berusaha memperbaiki..."
"Memperbaiki apa?! Infertil tetaplah infertil! Itulah kau, Calvin Wan!"
Dengan kata-kata itu, Silvi berbalik dan berjalan pergi. Meninggalkan Calvin dalam luka.