Pernahkah kaurasakan saat-saat dimana pasanganmu tak lagi mencintai karena mengetahui kekuranganmu? Pasti hatimu sakit sekali bila merasakannya. Kalau kau ingin tahu lebih jauh sesakit apa rasanya, tanyakanlah pada sosok tinggi semampai yang baru saja menepikan mobilnya di halaman rumah besar ini.
Sosok tampan itu turun dari mobil. Tangan kanannya menenteng sebuket bunga lily putih. Sementara itu, tangan kirinya memegang paper bag berisi sekotak coklat. Dipercepatnya langkah melintasi halaman berumput. Melewati air mancur tiga tingkat berbentuk mutiara. Anak-anak tangga pualam penghubung teras dan halaman depan ia naiki dua-dua sekaligus.
Tak lama, jari-jari lentik pria oriental itu telah memegang handel pintu putih. Pelan diputarnya. Pintu mengayun terbuka. Memperlihatkan kilasan sebuah ruang tamu oval berukuran luas, dipenuhi sofa Chesterlief, meja marmer, dan lampu kristal Swarrowski.
"Princess Silvi, I'm home."
Nada antusias tertangkap kuat dalam suara bassnya. Pria berjas hitam itu berharap, sangat berharap, mendapat sambutan hangat.
Tak ada respon. Hanya terdengar derap langkah lembut yang teredam permadani. Selang dua menit, sesosok wanita cantik bermake up pucat dan bergaun hitam muncul di depannya. Mata biru si wanita menyapu sang pria dari atas ke bawah. Menginspeksi penampilannya. Tetap sempurna, pikirnya kecewa.
"Tumben pulang jam segini," komentar wanita itu ketus.
"Aku merindukanmu, Silvi."
Ucapan tulus sang pria dibalas senyum sinis Silvi. Ia bertolak pinggang, berkata dingin.
"Kukira kau tak merindukanku, Calvin."
Tak tahukah Silvi bila Calvin merindukannya? Tak taukah wanita Minahasa-Portugis-Turki itu kalau suami orientalisnya ingin selalu di sisinya?