Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Malaikat Berhati Lembut

10 September 2018   06:00 Diperbarui: 10 September 2018   07:03 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Hai, Ma." sapa Calvin hangat. Mengecup ringan pipi Nyonya Rose.

Wanita setengah baya yang tetap cantik itu membalas ciuman Calvin. Bonus memeluk putra tunggalnya. Mencium wangi khas Calvin: Blue Seduction Antonio Banderas.

"Mama kangen kamu, Sayang." ungkap Nyonya Rose.

"Aku juga. Sejak bercerai dari Papa, Mama jarang sekali datang ke rumah."

Tidak mengenakkan. Mengapa masalah perceraian harus dibahas di awal pertemuan? Buru-buru Nyonya Rose menghapus senyum pahitnya. Lalu memasang ekspresi ceria.

"Yang penting sekarang kita sudah ketemu. Gimana modelingnya, Calvin? Awal mengurus perusahaan? Blogmu? Lancar semua, kan?"

Dialog mengalir ringan. Ibu dan anak itu kembali larut dalam kebersamaan setelah berbulan-bulan tak bertemu. Kesan pertemuan secara langsung terasa lebih dalam dibandingkan pertemuan virtual. Lebih istimewa, lebih mendalam.

Bukan tanpa tujuan Calvin mendatangi rumah mungil berpagar kayu yang ditempati Mamanya. Malaikat tampan bermata sipit itu datang membawa damai. Terbersit keinginan di dalam hati untuk kembali menyatukan kepingan-kepingan puzzle keluarga.

Mungkin tak mudah. Namun, bukan berarti tak bisa. Calvin harus mencobanya pelan-pelan.

Setengah jam memperbincangkan banyak hal, Nyonya Rose menarik lengan Calvin ke ruang makan mungil. Letaknya bersebelahan dengan pantry. Binar bahagia terpancar di mata wanita itu saat menunjukkan nasi hainam yang dimasaknya. Spesial untuk putra semata wayang.

Jelas saja Calvin tak menyangka. Sang Mama masih ingat makanan favoritnya. Bahkan, mau repot-repot memasakkan itu untuknya. Bila tak ingin direpotkan, bisa saja jasa pesan antar jadi andalan. Namun, nyatanya, wanita yang melahirkannya itu mau juga berepot-repot.

Makan siang berlangsung nyaris tanpa ketegangan. Calvin dan Nyonya Rose, berdua saja. Merajut kebersamaan. Menikmati detik-detik kehangatan.

"Calvin?"

"Iya, Ma?"

"Mama punya permintaan."

"Katakan saja, Ma. Selama Calvin mampu, pasti Calvin turuti."

Lama Nyonya Rose terdiam. Menatap lekat wajah tampan Calvin. Seolah sedang mempertimbangkan sesuatu.

"Mama ingin...kamu membintangi video clip lagu religi."

Calvin terdiam, sempurna terdiam. Mengapa tetiba Mamanya meminta hal itu? Jangan-jangan pertanda buruk. Radar kewaspadaannya mulai bekerja.

Sadar situasi, Nyonya Rose cepat-cepat meraih tangan Calvin. Menggenggamnya lembut.

"Tidak ada maksud buruk, Sayang. Ini bukan berarti Mama melarangmu jadi model lagi. Tapi, Mama hanya ingin...sekali saja, kau jadi model video clip lagu religi."

Permintaan Nyonya Rose sukses membuat Calvin terenyak. Apakah ini jawaban dari Allah? Bukankah beberapa hari lalu ia mendapat tawaran dari teman musisi untuk menjadi model video clip single religi terbarunya? Calvin minta waktu untuk berpikir.

Dua pasang mata sipit beradu. Calvin luluh di bawah tatapan ibu kandungnya. Pelan, dia mengangguk. Senyum bahagia merekah di wajah cantik sang Mama.

"Alhamdulillah...terima kasih, Sayang. Mama janji, akan jadi yang pertama menontonnya begitu video clip itu rilis."

Tanpa perlu janji, Calvin percaya. Sesaat ia bimbang. Melihat raut bahagia di wajah Nyonya Rose, tak tega rasanya.

Calvin juga punya permintaan. Tapi, permintaannya tak sesederhana menjadi model video clip lagu religi. Ini permohonan yang kompleks, berkaitan erat dengan prinsip dan pilihan hati. Keraguan menyentak hati. Sulit sekali Mamanya meluluskan keinginan Calvin kali ini.

Masih diliputi rasa bahagia, Nyonya Rose mengalihkan topik. Ia menanyai Calvin tentang keseriusan rencana pernikahannya dengan Silvi. Jujur, Calvin tak punya jawaban.

"Kenapa ragu, Sayang?" desak Nyonya Rose lembut.

"Belum saatnya, Ma."

"Kenapa memangnya?"

Dengan wajah sedikit tertunduk, Calvin menjawab. "Sakit ginjalku..."

Deringan ponsel menyela perkataan. Wajah Nyonya Rose sontak berawan saat menyadari siapa peneleponnya.

"Iya ada apa, Effendi?"

Mendengar itu, Calvin tersentak. Papanya menelepon sang Mama. Untuk apa? Mungkinkah Papa sepemikiran dengannya?

**     

Tanggal sembilan bulan sembilan. Tanggal cantik. Tak secantik langit di atas sana. Hujan dimuntahkan dari langit sejak Subuh. Menakut-nakuti orang untuk beraktivitas di luar rumah. Cuaca tak berpihak di tanggal cantik.

Meski demikian, bukan berarti hujan mematahkan semangat Silvi. Sepupu Revan itu bertekad tetap ke butik walaupun hari begitu dingin. Tak satu pun bisa menghalangi, bahkan hujan.

Langkah Silvi bertambah cepat. Pelan disibakkannya rambut, memperlihatkan kilau kebiruan dari sepasang mata. Mata Silvi dan Revan identik: biru. Teman-teman mereka sangat kagum melihat mata seperti itu. Kata mereka, mata Silvi dan Revan sangat indah. Unik dan berbeda.

Di depan butik, Silvi menangkap kilasan sebuah Alphard hitam. Oh tidak, ia mengenali mobil itu. Kini, gadis bergaun biru pucat itu berlari menembus derasnya hujan. Tujuannya satu: tiba secepatnya di dalam Sil & Rev Boutique.

Nampaknya, Allah lebih berpihak pada pemilik Alphard hitam itu. Lihat saja. Silvi dibuat terjatuh beberapa meter dari pintu masuk.

"Silvi, are you ok?"

Sebuah suara bass memanggilnya lembut. Disusul kedua lengan melingkari lehernya hangat. Jas hitam diselimutkan ke tubuhnya yang membeku kedinginan.

"Harusnya aku yang tanya itu padamu," kata Silvi tajam.

Tanpa kata, Calvin memapah Silvi ke dalam butik. Lembut mendudukkannya di sofa. Tingkah gallantnya ini sempurna membuat para pegawai butik iri. Hoca Calvin dan Silvi Hanim memang serasi.

Calvin duduk di samping Silvi. Pelan melepaskan sepatunya. Mengobati kaki gadis itu yang terluka. Sabar menenangkannya saat Silvi mengaduh kesakitan.

"Jadi..." Silvi memulai, nadanya tetap tajam.

"Mengapa harus marah di hari spesialmu, Silvi?" Calvin menatapnya lembut. Mengangkat dagu gadis Minahasa-Portugis-Turki itu dengan jemarinya.

Mata itu, sungguh meneduhkan. Silvi tak tahan di bawah tatapannya. Mata adalah jendela hati.

"Kamu masih marah setelah aku menunda rencana pernikahan kita karena..."

"Sakitmu itu bukan alasan, Calvin. Kan sudah kukatakan berkali-kali. Aku tidak mempermasalahkannya."

Calvin menghela nafas. Sedikit terbatuk. Memegangi rusuknya. Berusaha keras menyembunyikan rasa sakit. Cuci darah tak diinginkan itu membuat rasa sakit yang lain di bagian tubuhnya.

"Aku yang keberatan, Silvi. Mana mungkin aku menyusahkanmu?" ujar Calvin sabar.

"Bilang saja kau memang tidak punya niat menikahiku."

"Silvi..."

"Jangan memanggil namaku hanya untuk membuatku luluh!"

Nada suaranya meninggi. Membuat Calvin tertegun. Hatinya terlalu lembut untuk membalas kekasaran Silvi dengan kekasaran pula. Semarah apa pun, pria sejati akan selalu menjaga kata-kata di depan wanita yang dicintainya.

"Pilihanmu untuk tidak percaya. Tapi...sungguh aku tidak bermaksud mempermainkanmu."

Mata biru Silvi terhujam ke langit-langit. Dua buliran bening terjatuh.

"Aku membutuhkanmu, Calvin." isaknya tertahan.

"Sudah lama kita rencanakan ini. Kita mulai segalanya dari awal, membangun harapan, mengendalikannya...oh, bahkan kita sudah memilih dimana kita akan tinggal. Tapi, mengapa ketika titik-titik terang akan terwujud, kau malah menghancurkannya?"

Apakah itu air mata keputusasaan? Tak peduli apa jenisnya, Calvin menyeka lembut air mata Silvi. Mengecup mata, hidung, dahi, dan pipi gadisnya.

"Menunda bukan berarti menghancurkan, Silvi."

Menunda hingga titik kesembuhan. Sampai kapankah itu?

**     

Di keheningan malam, Calvin memainkan grand piano. Mengadukan sedihnya pada Allah lewat lagu. Nyonya Rose dan Silvi, dua wanita yang sangat ia cintai, sukses membuatnya bingung hari ini.

Namun, ia berusaha mengerti. Calvin membuka hati lembutnya untuk memahami. Memahami, mengasihi, dan menghadapi dengan sabar.

Piano terus berdenting. Calvin melagukan kepedihannya.

Ada kala ku merasa

Hidup ini seperti kaca

Jikalau tidak bersabar

Hancur berderailah akhirnya

Tabahkanlah hatiku melalui semua itu

Kuatkanlah jagakanlah diriku

Oh Tuhan terangkan hati dalam sanubariku

Untuk menempuhi segala

Hidup penuh jabaran ini

Oh Tuhan ku berserah segalanya kepadaMu

Agar jiwaku tenang

Dengan bimbinganMu selalu (Afgan-Kumohon).

**      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun