Nada suaranya meninggi. Membuat Calvin tertegun. Hatinya terlalu lembut untuk membalas kekasaran Silvi dengan kekasaran pula. Semarah apa pun, pria sejati akan selalu menjaga kata-kata di depan wanita yang dicintainya.
"Pilihanmu untuk tidak percaya. Tapi...sungguh aku tidak bermaksud mempermainkanmu."
Mata biru Silvi terhujam ke langit-langit. Dua buliran bening terjatuh.
"Aku membutuhkanmu, Calvin." isaknya tertahan.
"Sudah lama kita rencanakan ini. Kita mulai segalanya dari awal, membangun harapan, mengendalikannya...oh, bahkan kita sudah memilih dimana kita akan tinggal. Tapi, mengapa ketika titik-titik terang akan terwujud, kau malah menghancurkannya?"
Apakah itu air mata keputusasaan? Tak peduli apa jenisnya, Calvin menyeka lembut air mata Silvi. Mengecup mata, hidung, dahi, dan pipi gadisnya.
"Menunda bukan berarti menghancurkan, Silvi."
Menunda hingga titik kesembuhan. Sampai kapankah itu?
** Â Â Â
Di keheningan malam, Calvin memainkan grand piano. Mengadukan sedihnya pada Allah lewat lagu. Nyonya Rose dan Silvi, dua wanita yang sangat ia cintai, sukses membuatnya bingung hari ini.
Namun, ia berusaha mengerti. Calvin membuka hati lembutnya untuk memahami. Memahami, mengasihi, dan menghadapi dengan sabar.