Kamar rawat VIP itu dilingkupi kedukaan. Tak lelah Tuan Effendi dan Nyonya Rose menunggui anak tunggal mereka melawan penyakitnya. Tekad membulat di hati: takkan meninggalkan Calvin untuk kali kedua.
Masa kelam itu belum terlewati. Sejak terakhir kali hemodialisa, Calvin mengalaminya. Calvin sepsis, keracunan darah.
Kini, saatnya Tuan Effendi dan Nyonya Rose menebus semuanya. Semua waktu yang hilang. Di sela menemani, tangan mereka tak lepas dari iPad. Membuka laman blog milik Calvin. Membaca tulisan-tulisannya.
"Anak kita pintar...dia bisa menuangkan pemikirannya lewat tulisan-tulisan yang bagus. Mengapa kita baru sadar? Mengapa baru kita perhatikan sekarang?" sesal Nyonya Rose. Memperlihatkan tulisan terbaru Calvin tentang berita baik di satu sisi dan amukan kurs Dollar di sisi lainnya.
Tuan Effendi menyeka mata. Terlarut dalam penyesalan yang sama.
Ah, itu tidak benar. Calvin bukan hanya pintar. Ia juga tampan, sangat tampan. Katakanlah Calvin tampan luar-dalam. Dalam kondisi sakit, hati dan wajahnya tetap rupawan.
Sisi terdalam hatinya, sisi yang paling dekat dengan Silvi, menggerakkannya untuk bangun. Bulu mata Calvin yang lentik bergerak-gerak. Pelan-pelan, kedua mata sipit bening itu membuka.
"Calvin Sayang?" sapa Nyonya Rose dan Tuan Effendi bersamaan.
Calvin menatap bergantian kedua orang tuanya. Sosok-sosok yang memenuhi hatinya dengan rindu.
"Terima kasih Mama dan Papa mau menemaniku..." lirih Calvin.
Tak perlu ada kata terima kasih. Ini adalah kewajiban. Kewajiban orang-orang yang saling mencintai karena Allah. Tetap cinta walau yang dicintai sedang di ambang kehidupan dan kematian.