Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sembilan Konfeti Kesedihan

8 September 2018   06:00 Diperbarui: 8 September 2018   06:00 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Pokoknya kamu tidak boleh bersahabat lagi dengan teman-teman Non-Muslimmu itu! Apa kata jamaah Ayah nanti?! Bikin malu!" teriak Ustadz Abdullah. Suaranya membelah keheningan malam.

Susah payah Rossie menengadah. Tangan putihnya terkepal. Walau ketakutan, gadis keturunan Sunda-Jerman itu masih menyimpan sisa ketegaran.

"Mereka Muslim, Ayah. Hanya saja, mereka blasteran. Mereka juga tidak berpenampilan Islami. Tapi...percayalah, Ayah. Sahabat-sahabatku Muslim yang taat." Rossie terisak tertahan.

Ikat pinggang terlepas. Dengan kekuatan mengerikan, Ustadz Abdullah menghantamkan benda hitam mengilat itu ke punggung putrinya sendiri. Ya, seorang pemuka agama yang dikenal karena keluasan ilmu dan kemampuannya memikat banyak orang dengan tausyiahnya, tega mencambuki anak kandungnya sendiri.

"Sahabat-sahabat kafirmu itu telah menjauhkanmu dari Allah, Rossie! Gara-gara mereka, kamu jadi pembangkang! Sudah lewat baligh, belum juga kamu berhijab! Kamu malah masuk modeling! Modeling itu dunia syaitan dan syahwat!"

Sakit hati Rossie mendengar kecaman ayahnya. Bukan kecaman tentang dunia modeling, tetapi hinaan pada sahabat-sahabatnya.

Mengabaikan sakit di punggungnya, Rossie berjalan tertatih ke pintu depan. Pelan memutar handel. Angin dingin menampar-nampar wajah. Sekaranglah saatnya pergi. Pergi menemui sahabatnya yang tengah menunggu waktu di rumah sakit.

**    

-Konfeti 3-

Pria tua berambut putih dan berwajah Kaukasia itu mengerang kesakitan. Satu tangan memegangi dada kirinya. Erangan-erangan kesakitannya sukses mengalihkan perhatian gadis cantik berambut panjang bergelombang.

"Lia...Lia benar mau tinggalkan Papa?" rintih lelaki tua itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun