Di sampingnya, Angel kedinginan. Ia merapatkan blazer, tak kuat menahan dinginnya hujan. Rossie kian cemas. Baiklah, percuma mengharapkan Revan. Dikontaknya sahabat-sahabat yang lain.
Calisa, Julia, dan Silvi ternyata mengikuti jejak Revan: menonaktifkan handphone. Anton menolak dengan halus. Hari ini ia ada janji dengan desainer interior yang akan membantunya menata cabang restoran ketiga.
"Sorry Rossie, setengah jam lagi aku ada operasi." Albert meminta maaf, lalu mengakhiri telepon.
Cepat sekali ia menolak. Tapi Rossie maklum. Ok fine, tinggal ada satu harapan.
"Ada apa, Rossie?"
Suara bass itu menyapanya lembut. Memercikkan ketenangan. Rasanya menenangkan sekali mendengar suara itu. Pantas saja Silvi jatuh hati padanya.
"Calvin, bisakah kau datang ke sekolahku sekarang?" tanya Rossie ragu.
"Bisa. Kenapa memangnya? Perlu sesuatu?"
Samar, didengarnya bunyi laci ditarik. Disusul gemeretak kunci dan derap langkah cepat. Rossie pun menjelaskan situasinya. Calvin ikut bersimpati. Ia berjanji akan sampai secepatnya.
Hati Rossie berangsur lega. Malaikat tampan bermata sipit itu selalu bisa diandalkan, bisik hati kecilnya. Lebih dari para sahabat yang lain.
Tak lama, Alphard hitam mendekat. Calvin turun dari mobil. Ia berlari menghampiri Rossie dan Angel. Dengan cepat tapi lembut, Calvin memakaikan syal sutera ke leher Rossie. Scarf biru muda ia tutupkan ke leher Angel. Gelas kertas berisi hot chocolate ia sodorkan pada Rossie, menawarkan wangi manis. Paper cup satunya Calvin berikan untuk Angel. Isinya susu hangat. Calvin membantu Angel meminumnya dengan sabar.