Pundak Rossie bergetar. Ia menatapi kalung tasbih di leher Calvin dengan wajah sendu berurai air mata. Sementara sang pemakai kalung menunggu kelanjutan ceritanya.
"Ayah tak merestui hubunganku dengan Revan. Kau tahu kan, seperti apa ayahku? Seorang Muslim Pribumi yang fanatik. Kefanatikannya membesar setelah beliau jadi ulama terkenal."
"I see. Lalu, kenapa Ustadz Abdullah Heryana tak merestuimu dan Revan? Revan kan Muslim juga, sama seperti kita."
"Nah, itu sebabnya. Ayah tak percaya kalau Revan seorang Muslim."
Ini menyedihkan, sungguh menyedihkan. Calvin terenyak. Kejamnya stereotip. Melukai perasaan, menghalangi kebahagiaan.
"I feel sorry for you. What can..."
Belum sempat Calvin menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara tepuk tangan di pintu kapel. Disusul sebuah suara barithon berteriak.
"Bagus! Ini yang kalian lakukan di belakangku?!"
Cepat-cepat Calvin dan Rossie melepas pelukan. Mereka membalikkan tubuh, terperangah melihat sosok tinggi bermata biru dan berambut pirang di depan pintu.
"Revan?"
** Â Â Â