Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Kapel dan Tasbih Bicara

21 Agustus 2018   05:57 Diperbarui: 21 Agustus 2018   06:02 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rinai hujan membasahi halaman gedung Global Classica Kindergarten. Rossie menatap masygul pemandangan suram itu dari jendela ruang kerjanya. Dalam hati ia bersyukur karena hujan turun saat jam sekolah sudah usai. Kasihan bila murid-muridnya harus melintasi halaman dengan tubuh basah.

Kesehatan dan kebahagiaan murid-muridnya, itulah yang selalu Rossie pikirkan. Mereka sangat berharga baginya. Rossie mencintai mereka seperti ia mencintai diri sendiri, keluarga, sahabat-sahabatnya, dan...Revan.

"Revan..." Bibir mungil itu menyebut sepotong nama tanpa sadar.

Owner Global Classica Kindergarten itu mendesah. Dihelanya napas berat. Ingatan aakan pertengkarannya dengan Revan berputar-putar tanpa henti.

Semalam dia bertengkar dengan pria blonde itu. Sikap sang ayah, itulah akar masalahnya. Revan mengaku tak tahan lagi menghadapi sikap ayah Rossie. Namun Rossie tak terima. Ia malah menuduh Revan lemah, tanpa punya keberanian untuk menghadapi ayahnya. Bahkan Rossie berprasangka kalau Revan enggan memperjuangkan cinta mereka.

Kini ia menyesal. Sungguh-sungguh menyesal. Bukan begitu caranya menghadapi Revan. Maksud hati ingin meminta maaf, tetapi sejak pagi tadi Revan tak bisa dihubungi.

"Revan, maafkan aku..." desah Rossie. Bertopang dagu, menatap sendu halaman sekolah bermandikan hujan.

Tenggelam dalam pikirannya, tanpa sengaja Rossie mendengar isakan tertahan. Suara apa itu? Refleks ia membalikkan tubuh, menajamkan pendengaran. Suara isak tangis terdengar dari koridor, jelas di luar kantornya.

Tengkuknya merinding. Mungkinkah...? Andai saja Revan ada di sini, dia akan bisa melihat posisi makhluk-makhluk halus. Tidak, itu pasti bukan makhluk tak kasat mata. Isakannya lebih mirip suara anak kecil.

Mengumpul-ngumpulkan keberanian, Rossie berjalan pelan keluar ruangan. Kakinya serasa seberat barbel. Dua langkah menginjak lantai koridor, Rossie terkejut melihat sesosok tubuh kecil meringkuk dengan tubuh gemetar. Ia familiar dengan tubuh kecil dalam balutan blazer berlogo Global Classica itu.

"Angel?" panggilnya, berlutut di depan anak perempuan kecil yang tengah menangis.

"Kamu kenapa belum pulang, Sayang?"

Bukannya menjawab, tangis Angel bertambah keras. Ia mendekap Rossie erat. Ekspresi ketakutan dan kesedihan mendominasi wajahnya. Rossie membalas pelukan Angel, lembut membelai rambutnya.

"Kenapa Angel belum pulang?" ulang Rossie halus.

"Nggak ada yang jemput Angel. Mama sibuk, Bibi lagi cuti. Angel nggak bisa pulang sendiri...Angel sedih."

Bola mata gadis kecil nan cantik itu berawan. Awan-awan itu memecah menjadi hujan. Kristal bening berhamburan dari pelupuk matanya.

Rossie tak tahan melihat anak kecil menangis. Ingin rasanya ikut menangis, namun wanita jelita keturunan Sunda-Jerman itu masih menjaga wibawanya sebagai guru. Lembut ia berkata,

"Jangan sedih lagi ya. Sekarang Ibu antar kamu pulang."

"Angel nggak mau pulang. Angel mau ke kapel dulu." sela anak itu cepat.

Mendengar itu, Rossie terenyak. Antara terkejut dan tersentuh. Anak sekecil Angel sudah punya semangat beribadah dan berdoa. Harus ada dukungan dari orang dewasa. Rossie berjanji akan mendukungnya, meski berbeda keyakinan.

"Iya, Sayang. Kita ke kapel dulu ya, sebelum pulang."

Detik itulah Rossie teringat jika ia tak membawa mobil. Tadi pagi ia berangkat ke sekolah naik taksi. Mobilnya dipinjam Bunda. Sementara jarak kapel cukup jauh dari sini.

Ah, tidak apa-apa. Pasti mudah menemukan taksi. Rossie menebar pikiran positif itu sambil menggandeng Angel meninggalkan areal taman kanak-kanak.

Asumsinya meleset. Tak ada taksi di sekitar Global Classica Kindergarten. Memesan taksi online pun sulit. Dengan pikiran kalut, Rossie menelepon seseorang. Terbayang seraut wajah dengan ketampanan Minahasa dan Turkish yang khas. Amat berharap sosok itu mau menolongnya.

**     

Tak seharusnya kita terpisah

Tak seharusnya kita bertengkar

Karena diriku masih butuh kau

Maafkanlah sikapku

Lupakanlah salahku itu (Sheila on 7-Bila Kau Tak Di Sampingku).

**    

Di bawah rintik hujan, Rossie membenamkan harapan. Revan tak juga mengangkat teleponnya. Apakah kemarahannya sudah mencapai klimaks hingga menolak menjawab teleponnya sama sekali?

Sesal menyergap hati. Tak semestinya mereka bertengkar. Seharusnya Rossie bisa lebih sabar. Ternyata Rossie masih butuh Revan.

Di sampingnya, Angel kedinginan. Ia merapatkan blazer, tak kuat menahan dinginnya hujan. Rossie kian cemas. Baiklah, percuma mengharapkan Revan. Dikontaknya sahabat-sahabat yang lain.

Calisa, Julia, dan Silvi ternyata mengikuti jejak Revan: menonaktifkan handphone. Anton menolak dengan halus. Hari ini ia ada janji dengan desainer interior yang akan membantunya menata cabang restoran ketiga.

"Sorry Rossie, setengah jam lagi aku ada operasi." Albert meminta maaf, lalu mengakhiri telepon.

Cepat sekali ia menolak. Tapi Rossie maklum. Ok fine, tinggal ada satu harapan.

"Ada apa, Rossie?"

Suara bass itu menyapanya lembut. Memercikkan ketenangan. Rasanya menenangkan sekali mendengar suara itu. Pantas saja Silvi jatuh hati padanya.

"Calvin, bisakah kau datang ke sekolahku sekarang?" tanya Rossie ragu.

"Bisa. Kenapa memangnya? Perlu sesuatu?"

Samar, didengarnya bunyi laci ditarik. Disusul gemeretak kunci dan derap langkah cepat. Rossie pun menjelaskan situasinya. Calvin ikut bersimpati. Ia berjanji akan sampai secepatnya.

Hati Rossie berangsur lega. Malaikat tampan bermata sipit itu selalu bisa diandalkan, bisik hati kecilnya. Lebih dari para sahabat yang lain.

Tak lama, Alphard hitam mendekat. Calvin turun dari mobil. Ia berlari menghampiri Rossie dan Angel. Dengan cepat tapi lembut, Calvin memakaikan syal sutera ke leher Rossie. Scarf biru muda ia tutupkan ke leher Angel. Gelas kertas berisi hot chocolate ia sodorkan pada Rossie, menawarkan wangi manis. Paper cup satunya Calvin berikan untuk Angel. Isinya susu hangat. Calvin membantu Angel meminumnya dengan sabar.

"Thanks Calvin," desis Rossie, tersadar kini tubuhnya kedinginan. Pelan menyesap hot chocolatenya.

Angel lirih menggumamkan terima kasih. Tangan kanan Calvin mengusap lembut sisa susu di sudut bibir si gadis kecil.

"Ayo kita ke kapel. Sini, biar aku gendong Angel."

Calvin meraih tubuh mungil itu. Lembut menggendongnya. Tak peduli pada rasa sakit di limpanya yang mulai membengkak. Menggendong anak termasuk list kegiatan yang dilarang dokter.

Sesaat pria tampan kelahiran 9 Desember itu memandangi sosok yang digendongnya. Anak cantik, pikir Calvin. Angel gadis kecil keturunan Tionghoa yang jelita. Kulit putihnya, wajah bersihnya, pipi chubbynya, mata sipitnya, rambut indahnya. Beruntungnya orang tua yang memiliki anak secantik ini.

Angel melayangkan tatapan ke arah Calvin. Terasa nyaman sekali di dekat pria baik hati ini. Walaupun belum mengenalnya, Angel sudah merasa nyaman. Lengan yang melingkari tubuhnya, wangi Blue Seduction Antonio Banderas itu, wajah tampan itu, tatapan teduh itu, menghangatkan hati Angel.

Calvin Wan datang seperti malaikat. Ia menolong gadis kecil tak berdaya untuk beribadah. Ia antarkan gadis kecil itu ke tempat ibadahnya, meski berbeda keyakinan. Kasih, hanya karena itu yang ditebarkan Calvin untuk semua orang.

**     

Hati Calvin bergetar. Ia lihat dengan jelas. Angel berlutut di depan patung Bunda Maria. Anak cantik itu terisak-isak selama berdoa.

"Aku bisa merasakan kesedihannya. Rossie, ceritakan padaku tentang Angel." pinta Calvin.

Rossie menarik lembut tangan Calvin. Mengajaknya mundur ke belakang. Mereka berdua duduk di lantai kapel, dekat pintu. Perlahan ibu guru cantik itu mulai bercerita.

"Angel anak seorang pastor."

Pada kalimat pertama saja, Calvin tertegun. Difokuskannya pandang pada Rossie. Memberi perhatian penuh untuk ceritanya.

"Ayahnya tak mau lepas jubah. Sekarang Angel tinggal dengan ibunya. Tapi...ibu Angel tak pernah menyayanginya. Perempuan itu melampiaskan kesedihan dan kekecewaan cinta dengan sibuk mengejar karier. So, Angel lebih banyak ditinggal dengan pengasuhnya. Angel bukan anak yang diinginkan. You know what I mean."

Calvin mengangguk. Entah mengapa, hatinya terasa perih. Kurang dari satu jam ia mengenal Angel. Namun perih dan empati menyergap hatinya.

"Calvin, thanks ya kamu mau bantu aku. Bahkan mau antar Angel ke kapel." Rossie berterima kasih.

"You're wellcome. Kalau perlu bantuan, katakan saja. Aku akan bantu sebisaku."

Rossie tergugu. Pikirannya kembali tertuju pada Revan. Revan, mengapa tak seperti Calvin yang pemaaf, berpikiran terbuka, dan selalu ada?

"Kamu kenapa? Bertengkar dengan Revan?" tebak Calvin.

Tak ada jawaban. Hanya lengan putih Rossie yang melingkari leher Calvin. Perlahan Calvin membalas pelukan Rossie. Tak sengaja, tersentuh oleh Rossie sebentuk kalung tasbih. Calvin sudah lama memakai kalung itu.

"Andai saja Revan seperti kamu...andai Revan mau sedikit saja, belajar darimu." isak Rossie.

"Kenapa memangnya?" tanya Calvin lembut.

Pundak Rossie bergetar. Ia menatapi kalung tasbih di leher Calvin dengan wajah sendu berurai air mata. Sementara sang pemakai kalung menunggu kelanjutan ceritanya.

"Ayah tak merestui hubunganku dengan Revan. Kau tahu kan, seperti apa ayahku? Seorang Muslim Pribumi yang fanatik. Kefanatikannya membesar setelah beliau jadi ulama terkenal."

"I see. Lalu, kenapa Ustadz Abdullah Heryana tak merestuimu dan Revan? Revan kan Muslim juga, sama seperti kita."

"Nah, itu sebabnya. Ayah tak percaya kalau Revan seorang Muslim."

Ini menyedihkan, sungguh menyedihkan. Calvin terenyak. Kejamnya stereotip. Melukai perasaan, menghalangi kebahagiaan.

"I feel sorry for you. What can..."

Belum sempat Calvin menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara tepuk tangan di pintu kapel. Disusul sebuah suara barithon berteriak.

"Bagus! Ini yang kalian lakukan di belakangku?!"

Cepat-cepat Calvin dan Rossie melepas pelukan. Mereka membalikkan tubuh, terperangah melihat sosok tinggi bermata biru dan berambut pirang di depan pintu.

"Revan?"

**     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun