Calvin tersenyum bahagia. Balon-balon erinduan pecah di hatinya. Rindu itu, perlahan tertebus.
"Akhirnya kamu datang juga. Pasti kamu berbagi dulu." tukas Revan, pria berdarah campuran Minahasa-Portugis-Turki. Ia sepupu Silvi. Staf-stafnya di kampus sering menjulukinya Bos Bermata Hati, karena feelingnya kuat sekali. Mata batinnya tajam.
"Apa itu yang kamu bawa?" tunjuk Rossie ke arah dua tas kertas berukuran besar di tangan Calvin.
Sebagai jawaban, Calvin membukanya. Mengeluarkan isinya. Ditingkahi seruan "wow" dan ucapan terima kasih. Bukan Calvin Wan namanya kalau pulang dari luar negeri dengan tangan kosong. Tak pernah ia lupakan sahabat-sahabatnya. Kini ia datang membawakan teh bata untuk Anton, boneka panda untuk Julia dan Calisa, syal sutera untuk Rossie, sepatu Neiliansheng untuk Albert, Cloisonn untuk Revan, dan gelang bertatahkan giok untuk Silvi.
"Wow Calvin, thank you. Suka banget deh sama pandanya." Calisa memeluk boneka panda raksasanya erat.
"Aku tahu kamu pasti suka. Biar kamarmu jadi toko boneka."
Murah hati dan penyayang, sangat khas Calvin. Ia bergerak mendekati Silvi. Pandangan mereka bertemu. Silvi tersenyum tipis, memandangi gelang cantik yang dipegangnya.
"Mau kupasangkan?" tanya Calvin lembut.
Silvi mengangguk. Bibirnya terkatup rapat. Tak tahukah Calvin jika Silvi selalu merasa kehabisan kata tiap kali di dekatnya?
Dengan lembut, Calvin memasangkan gelang itu ke tangan Silvi. Sesaat tangan mereka bersentuhan. Aliran listrik ratusan volt serasa menyerbu jemari Silvi saat Calvin menyentuhnya. Partikel-partikel dalam darahnya berdesir.
Tangan Calvin bergetar. Degup jantungnya bertambah cepat. Ya, Allah yang Maha Cinta, sudah lama ia tak bertemu Silvi. Mengapa rasanya seperti ini?