Suara lembut Bilal menyerukan ibadah menyejukkan hatinya. Pelan-pelan ia bangkit, tertatih mengambil wudhu. Shower menyala. Air hangat mengalir lembut.
Lantai putih di bawah kakinya berputar. Rasa sakit mengganas. Bahkan sulit hanya untuk menarik nafas. Seperti bersusah payah mengambil oksigen dari kedalaman air.
Air? Air apa ini yang mengalir di mulut dan hidungnya? Detik berikutnya, Calvin muntah. Darah segar berceceran di lantai.
"Astaga, Tuan!"
Suara-suara bernada panik terdengar. Telepon diangkat dengan terburu-buru. Menit demi menit mendebarkan lewat. Sesaat kemudian terdengar deru mesin mobil, bantingan pintu, dan langkah sepatu menaiki tangga.
** Â Â Â
Albert datang paling dulu. Memang tak ada sesuatu yang terjadi karena kebetulan, seperti kata Harun Yahya. Ketika panggilan penting itu mendarat di telepon pintarnya, Albert sedang berada di dekat rumah Calvin. Ia baru saja silaturahmi dengan koleganya yang akan berangkat Haji. Dokter Onkologi setengah bule itu mengangkat tubuh Calvin. Membaringkannya, menyelimutinya, dan bergumam marah.
"Reno...you start to play this game. Kau akan membayar rasa sakit sahabatku."
Dalam kondisi setengah sadar, Calvin masih bisa mendengar ucapan itu. Diremasnya tangan kanan Albert yang tengah memegang stetoskop.
"Jangan, Al. Jangan gegabah membalasnya."
Derap langkah berlari mengalihkan atensi. Anton dan Revan berlari masuk. Keduanya terengah, terlihat cemas luar biasa. Lipatan jas Anton nampak tak rapi lagi. Rambut pirang Revan berantakan.