Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Melodi Silvi] Manik Mataku Menatapmu Penuh Cinta

25 Maret 2018   06:06 Diperbarui: 25 Maret 2018   08:22 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Duduk di kanan-kiri Syifa, Calvin dan Silvi bergantian menghiburnya. Syifa duduk di sofa dengan wajah tertunduk. Sisa air mata masih membekas. Rambutnya terkuncir rapi.

Rambut Silvi pun terkuncir dengan gaya ponnytail. Silvi dan Syifa punya kebiasaan yang sama: warna pakaian dan hair-do mencerminkan suasana hati mereka. Bila rambut terurai, saat itulah suasana hati mereka cukup baik. Rambut yang terkuncir dan pakaian berwarna gelap menandakan mood mereka buruk.

"Jangan sedih lagi, Syifa. Adica akan baik-baik saja. Bandung-Denpasar masih bisa ditempuh dengan mudah. Kamu bisa bertemu Adica kapan pun kaumau." Calvin berkata menenangkan. Menatap sepupu iparnya itu penuh simpati.

"Aku tahu, Calvin. Tapi aku merasa takkan bisa bertemu suamiku lagi." lirih Syifa.

Tangan Silvi terulur. Membelai halus jemari Syifa. Merengkuhnya, lalu berkata lembut.

"Auntie Syifa pasti ketemu lagi sama Uncle Adica."

"Nah itu, Silvi benar. Jangan khawatir. Itu hanya perasaanmu."

Perkataan Calvin dan Silvi disambuti anggukan lemah Syifa. Perlahan diusapnya sisa air mata. Lalu ia meraih tasnya.

"Aku harus pulang. Silvi Sayang, kamu pulang juga ya. Sama Ayah."

Mendengar itu, Silvi menggeleng kuat. Bibirnya terkatup rapat. Tatapannya sedingin laut Baltik ketika bertemu pandang dengan Calvin.

"Sayang, kita pulang ya. Kita tinggal sama-sama lagi." bujuk Calvin.

"Nggak mau! Silvi mau di rumah Opa aja! Silvi nggak mau sama Ayah!" bentak Silvi.

Calvin mendesah. Tersadar pada perubahan putrinya. Kini Silvi menjadi gadis pemurung, dingin, dan kasar. Syifa menatapnya sedih.

**     

"Sayang, Ayah senang sekali bisa ketemu kamu lagi." kata Calvin tulus di tengah perjalanan pulang.

Silvi membuang muka. Menatapi tetesan air di kaca mobil. Wallpaper bergerak pelan, menyapu bersih tetes hujan. Akhirnya Silvi mau pulang setelah dibujuk berulang kali oleh Calvin dan Syifa.

"Sore ini hujan, Sayang. Silvi suka hujan kan?" Calvin kembali bicara. Tak menyerah untuk terus berkomunikasi dengan anaknya.

Masih tak ada respon. Sekilas mata sipit bening itu mengerling Silvi. Gadis kecilnya semakin cantik. Sebuah kecantikan yang dingin dan kaku.

Nissan X-Trail itu berhenti di halaman depan. Bersamaan dengan masuknya sedan merah yang dikendarai Syifa ke rumah seberang. Rumah Calvin berseberangan dengan rumah Adica dan Syifa. Dari pagar rumahnya yang terbuka lebar, Syifa melambai dan tersenyum. Calvin dan Silvi membalas lambaiannya.

Senyuman Silvi memudar saat Calvin mendorong kursi rodanya. Ia menepis kasar tangan ayahnya sendiri, tak mau dibantu. Mau tak mau pria berdarah Tionghoa itu sedih juga. Putri tunggalnya bisa tersenyum untuk Syifa, mengapa untuk dirinya tidak? Empat tahun yang hilang harus terbayar dengan ironi.

Sikap Silvi tetap dingin sewaktu Calvin menunjukkan kamarnya. Memperlihatkan dekorasi kamar tidurnya. Segurat senyum pun tak nampak melihat kamar tidur mewah bernuansa off white yang telah disiapkan Calvin untuknya.

"Silvi mau tidur," katanya singkat. Membanting pintu kamar di depan wajah Calvin.

Pria kelahiran 9 Desember itu menghela napas sabar. Bersandar di pintu kamar Silvi. Apa lagi yang harus dilakukannya untuk membuat Silvi bahagia?

**      

Rasa bersalah itu terus mengejar-ngejarnya. Membisikkan tuntutan pertanggungjawaban. Resah menyerbu hati. Ini tak boleh dibiarkan.

Dari rumahnya, Calvin terus memantau progres jaringan supermarket miliknya. Ia bukan lagi pemimpin perusahaan. Namun perusahaan retail peninggalan Tuan Effendi itu masih miliknya. Adica hanya memegang amanah.

Calvin gelisah. Laporan-laporan yang bergulir dari kantor pusat mengacak-acak hatinya. Kenaikan omset sekitar lima persen, jauh dari targetnya. Belum lagi pergeseran trend dan maraknya toko online mengancam kelangsungan bisnis retail.

Keesokan harinya, Calvin bergegas ke cabang supermarketnya. Di kota bunga ini, terdapat tiga gerai supermarket. Rupanya Calvin tak sendiri. Ia mengajak Silvi bersamanya.

"Mau apa Ayah ajak aku ke supermarket?" tanya Silvi ketus.

Seraya membetulkan lipatan baju Silvi, Calvin berkata lembut. "Mana mungkin Ayah meninggalkanmu sendirian, Sayang?"

Sejurus kemudian didorongnya kursi roda Silvi ke mobil. Calvin menggendong Silvi dengan lembut. Mendudukkannya di bangku depan, lalu melipat kursi rodanya. Masih ia rasakan kehangatan tangan Calvin di tubuhnya. Tangan itu hangat. Sentuhannya lembut penuh kasih.

Tiba di gerai supermarket, Calvin mendorong kursi roda Silvi lewat pintu khusus bertuliskan "Just for owner". Para karyawan menyambut hangat kehadiran Calvin dan Silvi. Bila Calvin tersenyum ramah, Silvi memasang wajah datar tanpa ekspresi.

"Ini Nona Silvi, kan? Anaknya Pak Calvin? Wow cantik sekali...sudah besar ya. Terakhir ketemu lima tahun lalu," Salah seorang wanita berseragam karyawan memeluk anak cantik itu. Mengusap lembut kedua pipinya.

Silvi cemberut. Tak suka pipinya dipegang-pegang. Calvin merasa tak enak. Namun tetap sabar.

"Lho, Silvi kenapa?" tanya karyawati itu agak kecewa.

"Mungkin hanya lelah. Saya ke ruangan dulu. Setelah ini kita mulai rapatnya." jawab Calvin sebelum meninggalkan para pegawainya.

Pintu kaca mengayun terbuka. Calvin dan Silvi memasuki ruang kerja direktur yang mewah. Sofa besar berwarna coklat, televisi, kulkas kecil, dan seperangkat PC lengkap dengan printer dan scanner berjajar rapi. Sebuah meja dan kursi bersandaran tinggi berdiri gagah di tengah ruangan. Pendingin udara berdesis pelan. Mengirimkan hawa sejuk. CCTV terpasang di dinding, dekat lukisan.

"Silvi, Ayah rapat dulu ya. Is it ok?" kata Calvin lembut. Ditingkahi anggukan Silvi.

Setelah mengusap rambut putrinya, Calvin meninggalkan ruang kerjanya. Ia pun memimpin rapat. Mendiskusikan permasalahan dan tantangan bisnis retail akhir-akhir ini. Tentang perubahan pola belanja, pesatnya perkembangan e-commerce, dan beberapa retail kompetitor yang menutup gerainya. Berbagai solusi disampaikan. Mulai dari ekspansi dengan membuka gerai di tiga kota, mendirikan cabang di luar negeri, sampai ada yang menyebut-nyebut soal kemungkinan lain berupa e-commerce.

"Saya ingin berinteraksi langsung dengan customer." Calvin berujar tegas seusai rapat.

Beberapa karyawan bertukar pandang. Ini bukan hal baru lagi. Trik lama Calvin. Sejurus kemudian Calvin bangkit berdiri. Berjalan ke ruangan kecil di samping ruang rapat. Mengganti jas Dolce and Gabbananya dengan seragam berhiaskan logo dan huruf "L".

Puluhan pasang mata menatapnya penuh perhatian. Sebagian tersenyum, sebagian lagi kebingungan. Kelihatan mana karyawan junior dan karyawan senior di sini. Calvin balas tersenyum, melangkah cepat menuju areal supermarket. Berdiri di salah satu meja kasir. Di lajur kiri, spot yang banyak dipilih orang-orang untuk membayar.

Seorang petinggi perusahaan menyamar menjadi kasir demi berinteraksi langsung dengan customer. Apakah ini aneh? Tidak bagi Calvin. Dia senang melakukannya. Dengan begini, ia lebih dekat dengan konsumennya. Bahkan ia bisa merasakan apa yang dirasakan pegawainya.

Calvin mulai beraksi. Segera saja kemunculan kasir super tampan menyedot perhatian pengunjung supermarket. Mereka mengantre di lajur kiri. Penasaran dengan kasir charming itu. Tak sadar bila sang kasir adalah pemilik supermarket.

Dalam sekejap, Calvin menyesuaikan diri dengan tipe-tipe customer. Customer pertama yang dilayaninya adalah seorang gadis bertubuh mungil berambut lebat. Gadis itu tersenyum genit. Berulang kali mengedipkan matanya pada Calvin. Tanpa ragu si gadis mengamati Calvin dari ujung kaki hingga ujung rambut dan berkata centil,

"Cakep-cakep kok jadi kasir? Mendingan jadi model aja."

Hanya senyuman tipis yang dilempar Calvin. Beberapa pegawai perempuan tertawa di belakang. Menertawakan ketidaktahuan si customer centil. Andai saja ia tahu siapa Calvin Wan sebenarnya.

Itu belum seberapa. Setengah jam kemudian, Calvin dibentak habis-habisan oleh serombongan orang kaya baru. Terlihat dari penampilan mereka. Mereka memprotes karena lamanya pelayanan. Intinya, mereka tak mau antre.

"Kasir tolol! Cepat dikit kenapa sih? Lama-lama kita beli nih supermarket!"

Bisa saja si owner retail balas menghardik. Tapi ia tetap tersenyum menawan. Sabar menghadapi protes mereka.

Berdiri berjam-jam di depan meja kasir berbahaya untuk Calvin. Energinya terkuras. Beberapa kali ginjalnya terasa sakit. Tak menyerah, Calvin tetap meneruskan penyamarannya.

Toh ia menikmati pekerjaannya. Segi positifnya, pria kelahiran 9 Desember itu bisa berinteraksi langsung dengan customer. Tak jarang ia bertanya pada customer berwajah ramah tentang kualitas pelayanan di sini. Rata-rata menjawab pelayanannya memuaskan. Calvin senang mendengarnya.

"Hei, ada kasir ganteng. Ehm, ini kasir atau model sih? Gantengnya maksimal."

Sesosok pria tinggi, berambut pirang, dan bermata biru melangkah maju. Diletakkannya keranjang belanjaan di atas meja kasir sambil menyeringai nakal. Otomatis Calvin menengadah.

"Revan? Ngapain kamu ke sini?"

"Tadi aku ke rumahmu. Di depan rumah aku ketemu Syifa. Kata Syifa, kamu ada di sini. Sekalian aja aku intip kamu beraksi."

Dua sahabat berbeda etnis itu tertawa. Tak sadar beberapa pengunjung yang antre di belakang mengomel panjang.

"Tuh kan, gara-gara kamu mereka ngomel lagi. Wait wait..." Buru-buru Calvin melayani Revan. Tipe customer semacam Revan tergolong ramah dan pemurah. Buktinya ia memberikan uang kembalinya untuk kas supermarket. Padahal jumlahnya lumayan besar.

"Atau jadiin tips ajalah buat kasir gantengnya." tukas Revan berbaik hati.

"Eits, kasir di sini nggak boleh terima tips." tolak Calvin tegas.

Macam-macam saja tipe customer yang dilayani Calvin. Sampai akhirnya, ia berhadapan dengan seorang perempuan tua berambut putih. Di lehernya melingkar kalung bertuliskan nama dan alamat rumah. Perempuan tua itu sangat kurus. Pakaiannya kebesaran. Wajahnya pucat dan letih. Hati Calvin tersentuh rasa iba.

Si perempuan tua meletakkan empat botol susu berukuran kecil ke atas meja. Calvin tersenyum sopan sebelum menjelaskan.

"Ibu..." Ia membaca sekilas nama yang tertulis di kalung itu.

"Gloria, di sini tidak boleh membeli lebih dari tiga botol susu ukuran kecil. Maaf..."

"Tapi saya mau beli! Saya suka susu ini!" geram perempuan tua itu seraya memukul mejanya.

"Kalau Ibu suka susu ini, kenapa tidak beli yang ukuran besar saja? Biar saya ambilkan," tawar Calvin. Balik kanan, bermaksud mengambil sebotol susu berukuran besar. Seorang karyawati menepuk pundaknya. Berbisik menerangkan keadaan perempuan tua itu. Ternyata ia pengidap Alzheimer. Sudah sering ia datang ke sini untuk membeli susu favoritnya.

Makin besar rasa iba di hati. Setelah mengambilkan sebotol besar susu, Calvin membungkusnya. Meletakkan plastik belanja berisi susu ke tangan perempuan pengidap Alzheimer itu. Si perempuan nampak kaget. Uang yang ia ulurkan ditolak Calvin dengan halus.

Detik berikutnya, semua orang terpana. Calvin membukakan pintu, menuntun perempuan tua itu keluar. Letak panti jompo tempat tinggal perempuan tua itu persis di seberang supermarket. Calvin mengantarnya sampai ke panti.

Lima menit kemudian, Calvin sudah kembali lagi ke supermarket. Berdiri di posisi semula. Melayani customer seolah tak terjadi apa-apa. Di sekelilingnya, pembicaraan tentang perbuatan baik yang dilakukannya terus terdengar. Beberapa melempar pandang penuh haru ke arahnya. Tak hanya tampan di luar, Calvin Wan tampan di dalam. Pria tampan luar-dalam yang menawan.

**       

Dari sudut mata

Jantung hati mulai terjaga

Berbisik di telinga

Coba ingat semua

Dan bangunkanlah aku

Dari mimpi-mimpiku

Sesak aku disebut maya

Dan tersingkir dari dunia nyata (Letto-Sebenarnya Cinta).

**      

Walau mata birunya digerogoti Retinopati, Silvi masih bisa melihat figur ayahnya dari CCTV. Ia lihat semuanya. Dengan manik matanya yang menatap penuh cinta. Masih ada sepercik cinta di hati Silvi.

Dua titik bening terjatuh di mata Silvi. Mengharukan apa yang telah dilakukan ayahnya. Sebenarnya ia mencintai sang ayah. Empat tahun berpisah tak menghapus rasa cinta. Akan tetapi, sulit untuk menyampaikannya.

Ayahnya begitu baik. Penolong dan tulus. Silvi terharu. Dibenamkannya wajah ke lututnya, bibirnya bergetar.

"Ayah...I love you."

**      

https://www.youtube.com/watch?v=Y7YjaytRnME

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun