"Nggak mau! Silvi mau di rumah Opa aja! Silvi nggak mau sama Ayah!" bentak Silvi.
Calvin mendesah. Tersadar pada perubahan putrinya. Kini Silvi menjadi gadis pemurung, dingin, dan kasar. Syifa menatapnya sedih.
** Â Â Â
"Sayang, Ayah senang sekali bisa ketemu kamu lagi." kata Calvin tulus di tengah perjalanan pulang.
Silvi membuang muka. Menatapi tetesan air di kaca mobil. Wallpaper bergerak pelan, menyapu bersih tetes hujan. Akhirnya Silvi mau pulang setelah dibujuk berulang kali oleh Calvin dan Syifa.
"Sore ini hujan, Sayang. Silvi suka hujan kan?" Calvin kembali bicara. Tak menyerah untuk terus berkomunikasi dengan anaknya.
Masih tak ada respon. Sekilas mata sipit bening itu mengerling Silvi. Gadis kecilnya semakin cantik. Sebuah kecantikan yang dingin dan kaku.
Nissan X-Trail itu berhenti di halaman depan. Bersamaan dengan masuknya sedan merah yang dikendarai Syifa ke rumah seberang. Rumah Calvin berseberangan dengan rumah Adica dan Syifa. Dari pagar rumahnya yang terbuka lebar, Syifa melambai dan tersenyum. Calvin dan Silvi membalas lambaiannya.
Senyuman Silvi memudar saat Calvin mendorong kursi rodanya. Ia menepis kasar tangan ayahnya sendiri, tak mau dibantu. Mau tak mau pria berdarah Tionghoa itu sedih juga. Putri tunggalnya bisa tersenyum untuk Syifa, mengapa untuk dirinya tidak? Empat tahun yang hilang harus terbayar dengan ironi.
Sikap Silvi tetap dingin sewaktu Calvin menunjukkan kamarnya. Memperlihatkan dekorasi kamar tidurnya. Segurat senyum pun tak nampak melihat kamar tidur mewah bernuansa off white yang telah disiapkan Calvin untuknya.
"Silvi mau tidur," katanya singkat. Membanting pintu kamar di depan wajah Calvin.