Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Spesial] Mata Pengganti, Pembuka Hati, Kelembutan adalah Kekuatan

19 Januari 2018   06:20 Diperbarui: 19 Januari 2018   16:15 1025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Silvi, maaf..."

Calvin mendekatkan wajahnya ke wajah Silvi. Lembut menyibakkan rambut panjang gadis itu. Menyelipkannya di belakang telinga.

"Maaf? Aku tidak butuh maafmu!" sergah Silvi marah. Kedua tangannya ia letakkan di pinggang, matanya berkilat penuh amarah.

"Aku tidak sengaja...sungguh. Aku benar-benar lupa."

Raut wajah Calvin begitu menyesal. Silvi menatapnya tanpa kedip. Berusaha menyembunyikan gejolak rasa di hatinya. Andai saja Calvin tahu rasanya menjadi Silvi. Gadis blasteran Sunda-Inggris itu tidak pernah bermaksud bersikap kasar padanya. 

Silvi Mauriska yang sebenarnya bukanlah Silvi yang kasar. Pembawaan aslinya justru lembut, anggun, dan hangat. Teman-teman terdekat Silvi mengenalnya sebagai gadis menyenangkan yang baik hati dan sabar. Terkadang sikap Silvi menjadi aneh hanya karena alasan tertentu.

"Lupa? Kamu bilang lupa?" ulang Silvi. Nada suaranya meninggi.

"Kamu membiarkan saudaramu sendiri ketinggalan ibadah? Keterlaluan kamu, Calvin! Bagaimana di akhirat nanti, di dunia saja sudah begini!"

Ini semua gegara Calvin keasyikan berbagi. Sampai-sampai ia terlambat dan lupa membangunkan Silvi untuk shalat Subuh. Alhasil ia tiba di rumah ketika waktu Subuh sudah lewat.

"Astaghfirullah...sorry. Aku benar-benar tidak sengaja. Maaf ya." Calvin beristighfar, mengelus rambut Silvi.

"Sudahlah! Aku tidak butuh maafmu! Toh waktu Subuh sudah lewat!" kata Silvi geram.

"Apa yang harus kulakukan untuk membuatmu tidak marah lagi, Silvi?"

Mendengar pertanyaan itu, Silvi terpana. Persis sama seperti jenis pertanyaan pria pelukis masa lalunya. Pria berstatus calon rohaniwan yang akan segera menerima sakramen imamat itu sering menanyakan pertanyaan semacam itu. Bukan mengapa, tapi apa. Apa yang bisa kulakukan?

"Kamu membuatku menyesal, Calvin. Kesannya soal kecil, tapi ibadah itu penting sekali. Ibadah itu nomor satu. Memangnya kamu mau menanggung dosaku di akhirat kelak karena meninggalkan shalat Subuh?" protes Silvi, masih berpura-pura marah.

"Aku..."

"Sudahlah. Aku kecewa padamu, Calvin!"

Dengan kata-kata itu, Silvi berjalan cepat meninggalkan balkon. Membanting pintu kamar. Meninggalkan Calvin sendirian.

Kalau saja si pria oriental tahu maksud Silvi yang sebenarnya. Ia tak perlu sefrustasi ini. Nyata-nyata Calvin belum mengenal baik siapa Silvi sebenarnya.

Reminder di ponselnya berbunyi. Sebentar lagi waktunya ke kantor. Sudah dua hari ini Calvin absen karena fokus dengan Silvi. Membantunya melewati masa sulit. Silvi sendiri seharusnya mengikuti jadwal pemotretan hari ini, tetapi ia batalkan karena kondisinya tak memungkinkan.

Dengan hati diberati penyesalan, Calvin melangkah ke kamarnya sendiri. Bersiap-siap sebelum ke kantor. Ia tak punya waktu banyak.

Waktu makin mendesak saat Calvin turun ke lantai bawah. Satu jam lagi ada meeting. Ia tertegun saat membuka pintu ruang santai. Dilihatnya seekor kucing Persia tengah sibuk mencakar perabotan mahal yang berjajar rapi di ruangan luas berkarpet biru itu. Sofa, bantal, meja marmer, vas bunga, dan pajangan kristal ia cakar tanpa henti.

Entah apa yang ia lakukan. Entah ia berpikir dulu atau tidak sebelum melakukannya. Yang jelas, sedetik kemudian Calvin telah mengusir kucing Persia itu. Si kucing mengeong ketakutan, lalu berlari menjauh. Tepat pada saat itu, Silvi datang. Ia melihat dengan jelas saat Calvin mengusir jauh-jauh kucing peliharaannya.

"Calvin, kamu apakan kucingku?!" teriak Silvi histeris.

Teriakan Silvi menyadarkan Calvin. Ia beristighfar berkali-kali di dalam hati. Memohon ampun pada Allah karena telah berbuat kasar pada salah satu hewan ciptaanNya. Membaca shalawat beberapa kali. Kucing, hewan kesukaan Nabi Muhammad.

"Silvi...aku minta maaf. Sekali lagi maafkan aku. Sungguh, aku tak sengaja. Aku lupa kamu membawa kucing peliharaanmu ke sini. Sorry...sorry...sorry."

Raut wajah Silvi berubah menakutkan. Ia menggendong kucing cantik berbulu lembut itu. Mendekapnya, membelai-belainya, menempelkan pipinya ke tubuh si kucing.

"Kamu keterlaluan, Calvin." Nada suara Silvi merendah, pertanda bahaya.

"Ini hewan yang tidak tahu apa-apa, hewan yang tidak tahu kalau dirinya salah. Lalu kamu usir dengan kasar! Dia tidak tahu, kalau apa yang dilakukannya itu salah! Hewan tidak diberi akal pikiran, Calvin Wan! Dia tidak seharusnya diperlakukan kasar, tapi dikasihi dan diperlakukan lembut!"

"Tapi kucing bisa diajari untuk tidak merusak barang. Harus ditegur, bukannya diperlakukan selembut itu." Rupanya, Calvin masih punya kekuatan untuk membantah.

"Iya, benar. Harus ditegur. Tapi, haruskah ditegur dengan kasar? Bisa dengan lembut, kan? Melatih kucing untuk tidak mencakar perabotan butuh waktu dan proses, Calvin."

Hal yang tak diinginkan terjadi. Calvin dan Silvi bertengkar. Mereka mempertengkarkan soal kucing yang mencakar dan perlakuan kasar. Silvi menjelaskan alasan kucing suka mencakar benda-benda. Bukan kemauan si kucing, melainkan untuk mengasah ketajaman cakar dan menghindarkan dirinya dari stress. Calvin tahu alasannya, namun tak bisa menerima argumen Silvi tentang perlakuan yang lembut.

Cukup lama mereka bertengkar. Begitu marahnya Silvi pada Calvin. Sampai-sampai ia menyebut-nyebut kekurangan pria tampan itu. Mengatainya sebagai surviver kanker yang tidak laku, atau dalam arti, belum menikah sampai saat ini. Silvi sesungguhnya tidak benar-benar marah pada Calvin. Toh kucingnya tidak disakiti. Ia hanya mencari apa yang diinginkannya: menguji kesabaran Calvin. Melihat sejauh mana kesabaran pria setampan dan sebaik Calvin Wan.

Begitulah Silvi. Cantik, anggun, pintar, dan sulit ditebak. Calvin bahkan terkecoh dan mengira gadis cantik itu marah sungguhan. Hal ini sering terjadi. Merasa dipermainkan? Entahlah. Namun, di tengah pertengkaran mereka, Calvin menatap mata Silvi lurus-lurus. Dan untuk pertama kalinya, tatapannya begitu dingin. Dinginnya Laut Baltik mungkin terkalahkan dengan sorot dingin di mata bening itu.

"Silvi...kamu sering bicara tentang kelembutan. Tapi, kamu sendiri memarahiku dengan kasar. Inkonsisten."

Inkonsisten, satu kata itu berputar-putar di benak Silvi. Refleks dipeluknya kucingnya erat-erat. Sakit, rasanya sakit sekali mendengar Calvin berkata begitu. Calvin tak tahu, sungguh tak tahu apa-apa tentang dirinya.

"Terserah kamu mau menganggapku inkonsisten atau apa. Yang jelas, aku sama sekali tidak bermaksud memakimu dengan kasar. Kelembutan tetaplah kelembutan. Sekalipun sesuatu terdengar kasar, sesungguhnya masih ada sisi kelembutan yang dominan. Hanya saja, mata hatimu tak bisa melihatnya." ujar Silvi, suaranya sedikit bergetar.

Calvin terpaku mendengarnya. Kilatan di mata biru Silvi meredup. Raut wajahnya berubah keruh. Entah apa yang ada di pikirannya. Demi Allah, Calvin tak tega menatapnya.

Tak tahan, Calvin berbalik. Pria Tionghoa yang lahir di bulan terakhir itu membalikkan tubuh. Berjalan meninggalkan Silvi. Di ambang pintu, ia berhenti sebentar.

"Time to go. Have a nice day."

Hanya begitu, sungguh hanya begitu. Tanpa panggilan khusus mereka. Tak tahu harus senang atau sedih. Kini Silvi sudah tahu sejauh mana batas kesabaran Calvin. Terlihat jelas dari sikap dingin dan kata-katanya. Namun, hatinya masih terasa sakit dengan kata 'inkonsisten' yang dilontarkan Calvin. Inkonsisten? Kelembutan semu dan inkonsisten. Begitukah maksudnya?

Silvi memeluk kucingnya erat-erat. Sakit hatinya. Calvin ternyata masih belum mengerti juga. Lama mengenal Silvi tak membuat dirinya mengenal sikap dan pembawaan Silvi seutuhnya.

Semenit. Tiga menit. Lima menit, Silvi naik ke lantai atas. Mengemasi barang-barangnya. Time to go? Ok fine.

**       

Di kantor, perasaan Calvin tak enak. Terbayang olehnya wajah keruh dan pucat milik Silvi. Apakah ia telah mengatakan sesuatu yang kelewatan? Apakah kata inkonsisten itu mengacak-acak image kepribadian seorang Silvi?

Sejumput harap tumbuh di dasar hati. Berharap agar meeting cepat selesai. Dengan begitu, ia bisa kembali ke rumah. Menjumpai Silvi, memperbaiki semuanya. Bukankah biasanya begitu? Mereka bertengkar, lalu cepat berbaikan lagi.

"Kak Calvin kenapa?" tanya Syifa penuh perhatian.

"Iya, aku juga mau tanya itu. Kenapa lagi, Calvin?" Adica lebih interogatif.

"Aku baik-baik saja." sahut Calvin tanpa memandang mata adik-adiknya.

Gesture dan tanpa eye contact, mana mungkin dipercaya? Syifa dan Adica berpandangan. Cemas, takut bila Calvin kenapa-napa.

"Habis meeting, kita lunch ya? Makan seafood...lama nih nggak makan siang bareng." ajak Adica.

"Wah, ide bagus. Mau ya, Kak?" Syifa menyikut rusuk Calvin, tersenyum penuh arti.

Calvin menolak halus. Ia ingin menyelesaikan masalahnya dengan Silvi. Penolakannya disambuti wajah kecewa kedua adiknya. Alhasil Adica dan Syifa makan siang tanpa Calvin.

Meeting selesai. Calvin kembali ke ruangannya. Menyimpan dokumen, lalu menyalakan laptopnya. Menulis artikel barangkali mampu menenangkan perasaannya. Ia bisa menuliskan apa saja. Siang ini, Calvin menuliskan renungan tentang kekuatan pikiran. Pikiran bisa mempengaruhi hasil. Rupanya Calvin mempercayai kekuatan pikiran.

Setelah menayangkan artikelnya, Calvin bergegas meninggalkan kantor. Menyetir mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ingin sampai di rumah secepatnya.

Setiba di rumah, ia mencari Silvi. Naik-turun tangga. Keluar-masuk ruangan. Dari ruang tamu ke pantry, dari ruang santai ke ruang makan. Dari studio musik ke perpustakaan, dari garasi ke kolam renang. Tak ada. Silvi menghilang.

Dibukanya pintu kamar tamu. Barang-barang Silvi tak ada. Sudah jelas. Silvi pergi dari rumah.

Hatinya resah. Menyesali kenekatan Silvi. Bagaimana bila terjadi sesuatu pada gadis itu? Calvin takkan memaafkan dirinya sendiri bila sesuatu yang buruk menimpa Silvi.

Detik-detik berlalu menegangkan. Keheningan di rumah besar itu sangat mencekam. Sesuatu terlintas di benaknya. Hari ini, ada acara semi formal di rumah Silvi. Acara yang melibatkan Sarah, kakak perempuan Silvi, bersama laki-laki berdarah Jawa-Melayu-India yang notabene calon suaminya. Silvi masih belum bisa menerima laki-laki itu sepenuhnya sebagai ipar. Ini berbahaya. Calvin tahu bagaimana Silvi dalam urusan ini.

Ah, seharusnya Calvin tak perlu sekeras itu pada Silvi. Ini bukan hari yang pantas untuk berdebat. Calvin yang tampan, lembut, dan penyabar mengapa bisa sedingin dan sekeras itu? Sikapnya tak tepat. Ia justru menjadi sangat dingin ketika Silvi membutuhkannya.

Silvi membutuhkannya. Ya, sebab hanya Calvin yang tahu persis bagaimana situasi Silvi dengan calon saudara iparnya itu.

Tes

Setetes darah segar jatuh ke karpet. Epistaksis lagi. Mengusap darah dari hidungnya, Calvin cepat-cepat keluar kamar. Menuruni tangga, lalu berjalan meninggalkan rumah. Tak ada waktu lagi untuk mengambil mobil. Jarak rumahnya dengan rumah Silvi hanya terpisah beberapa blok.

Acaranya pasti sudah mulai. Terbayang wajah Silvi di pelupuk mata. Calvin berlari menuju rumah Silvi. Ia harus sampai secepatnya, harus.

Rasa sakit dan mual tak ia hiraukan. Prioritasnya adalah Silvi. Punggung dan perut bagian bawahnya sakit sekali. Di blok kedua, Calvin terjatuh. Buru-buru ia bangkit dan mempercepat larinya. Beberapa kali Calvin terjatuh. Kali ketiga terjatuh, lututnya berdarah. Menambah rasa sakit saja. Namun ia tak menyerah.

Calvin jatuh, bangkit. Jatuh lagi, bangkit lagi. Sakit di tubuhnya bukan halangan untuknya berlari menjumpai Silvi. Entah bagaimana akhirnya, entah apa yang harus dilakukannya di sana saat mendampingi Silvi. Mungkin ia perlu menghibur gadis itu, menenangkannya, menggenggam tangannya, menyediakan lengan dan tubuhnya saat Silvi menangis, atau membacakan Ayat-Ayat Cinta 2 untuknya lagi. Tak masalah, apa pun itu, ia melakukannya. Asalkan ia bisa bertemu Silvi sekarang juga.

Untuk kesekian kalinya, Calvin terjatuh. Saat ia jatuh, ia bangkit lagi. Begitu seterusnya sampai tiba di tujuan nanti. Jatuh, bangkit, jatuh lagi, bangkit lagi. Terjatuh dan bangkit lagi, itulah esensi perjuangan yang sebenarnya.

**      

Tajam rasa racun dunia

Dia punya penawarnya

Kelembutannya, kekuatannya

Bisakah kau hidup

Tanpa teduhnya wanita

Yang di setiap sujudnya terbisik namamu

Dia cerminan sisi terbaikmu

Lindungi hatinya

Sekalipun di dalam amarah (Raisa-Teduhnya Wanita ost Ayat-Ayat Cinta 2).

**      

Silvi menggigit bagian dalam pipinya. Hatinya diselimuti kesedihan. Di sini, di tengah keluarganya yang tengah berbincang akrab, tertawa, dan mendiskusikan tanggal pernikahan, ia kesepian. Sepi serasa mengurungnya di tengah keramaian.

Hari Jumat ini tak biasa. Tradisi berbagi makanan untuk orang-orang yang membutuhkan di Hari Jumat diganti dengan acara keluarga. Kumpul dan diskusi tanggal pernikahan. Laki-laki itu datang pula. Laki-laki berhidung mancung dengan wajah tipikal India itu tetap dingin padanya. Membuatnya cemas dan merasa asing.

Bibir Silvi gemetar. Begini rasanya terabaikan di tengah keluarga sendiri. Laki-laki itu berhasil menyedot perhatian semua orang. Mereka terlalu sibuk bicara dengan laki-laki itu. Semua terlibat dalam diskusi, kecuali Silvi.

Ketika keluarga besar bangkit berdiri dan ingin berfoto, Silvi tak ikut. Ia tatapi anggota keluarganya satu per satu. Tak ada satu pun yang mengajaknya bergabung. Kehadirannya memang tidak diinginkan. Jika sudah ada laki-laki itu, Silvi pastilah tersisihkan.

Kepala Silvi tertunduk. Ia mencoba berpikir positif. Tak mengapa ia tidak ikut berfoto dengan keluarga besar kali ini. Sekali-sekali mengalah tak apa. Sebab, biasanya Silvi menjadi sosok yang paling berbeda dan paling cantik sendiri. Sudah sering terjadi. Si cantik Silvi menjadi sosok yang dominan dan cantik tiap kali foto bersama keluarga besar. Anggap saja ia sedang mengalah.

Sekarang tak ada Silvi. Sebagai gantinya, laki-laki itulah yang paling dominan. Terdengar suara barithonnya bicara dengan logat Melayu yang kental. Meski Non-Pri, lelaki itu tak bisa berbahasa Tamil atau Hindi sama sekali. Bahasa Jawa pun tak lancar. Sebaliknya, ia fasih berbahasa Melayu-Palembang.

Silvi menatapi keluarga besarnya dengan masygul. Perlahan mencoba menikmati sepi. Seperti yang pernah disarankan Calvin padanya.

Calvin? Sepotong nama itu muncul di permukaan hati Silvi. Seraut wajah rupawan berkelebat. Calvin Wan, orang yang Silvi butuhkan saat ini. Silvi membutuhkan kehadiran Calvin.

Tetapi, sepertinya riskan. Calvin pasti masih marah padanya. Masih kecewa gegara Silvi menyebut-nyebut kelemahannya. Calvin menyangka itu makian, padahal sebenarnya bukan. Silvi tak pernah bermaksud memaki. Calvin hanya tak mengerti bagaimana Silvi yang sebenarnya.

"Calvin..." lirih Silvi tanpa sadar. Menggenggam kalung yang melingkar di lehernya, lalu meremasnya.

"Kamu dimana?"

Mata Silvi terpejam. Silvi sadar siapa dirinya. Hanya gadis bodoh dan kesepian, yang terjebak di tengah. Hanya gadis kesepian yang sesungguhnya tidak berdaya. Terlanjur patah hati dan menyimpan luka dalam. Tak seberuntung saudara-saudaranya dalam soal asmara.

Gloomy Friday. Ini akan menjadi Jumat yang suram untuk Silvi. Air mata Silvi meleleh. Tak ada yang memperhatikan. Biarlah, biar saja. Jauh di dalam hati, ingin rasanya Silvi menceritakan semuanya pada Calvin. Mengungkapkan betapa sepi hari-harinya, kesalahannya yang tak sengaja ia lakukan, kebaikan yang berujung kerugian bagi dirinya sendiri, reaksi alergi yang merenggut kepercayaan diri, masalah dalam studi dan modelingnya. Semua itu ingin ia bagi pada Calvin. Namun tak bisa. Dekat dengan Calvin membuatnya merasa nyaman sekaligus tidak nyaman. Nyaman berada di sampingnya, namun tidak nyaman saat harus bercerita hal-hal tertentu. Walau Calvin sudah cukup lembut.

Calvin sudah berusaha lebih lembut. Sebenarnya Silvi tahu itu. Tapi ia merasakan kebimbangan. Pantaskah menceritakan itu semua? Tidakkah terlalu riskan membagi semua itu pada Calvin? Gadis kesepian macam Silvi sesungguhnya hanya butuh dikuatkan dan diyakinkan. Motivasi yang lembut dan suportif, terkadang ia membutuhkan dua hal itu.

Lagi-lagi soal kelembutan. Kelembutan adalah kekuatan. Kelembutanlah yang menjadi kekuatan. Silvi tertunduk makin dalam. Air mata bergulir ke pipinya.

Di tengah keriuhan keluarga besarnya yang asyik berfoto di tengah taman depan rumah, Calvin datang. Ya, Calvin Wan datang. Calvin datang untuk Silvi.

Pria berparas rupawan itu datang dengan wajah sedikit pucat. Ia letih, terluka, tergores, kesakitan, namun tetap tampan. Tetap menawan.

Kesepian yang meracuni hati Silvi kini memperoleh penawarnya. Tak lain tak bukan, Calvinlah penawarnya. Kelembutannya, adalah kekuatan untuk Silvi.

"Aku di sini, Silvi." Ccalvin berbisik lembut, menarik tubuh Silvi ke pelukannya.

Silvi terdiam. Tak membalas pelukan Calvin, tidak pula menolak. Hanya air matanya yang terus menetes. Calvin menghapus lembut kristal bening di mata Silvi dengan ibu jarinya.

Kelembutan Calvin adalah kekuatan Silvi.

**       

Paris van Java, 19 Januari 2018.

Tulisan cantik di atas serpihan kekecewaan dan kesedihan.

**       

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun