Sejumput harap tumbuh di dasar hati. Berharap agar meeting cepat selesai. Dengan begitu, ia bisa kembali ke rumah. Menjumpai Silvi, memperbaiki semuanya. Bukankah biasanya begitu? Mereka bertengkar, lalu cepat berbaikan lagi.
"Kak Calvin kenapa?" tanya Syifa penuh perhatian.
"Iya, aku juga mau tanya itu. Kenapa lagi, Calvin?" Adica lebih interogatif.
"Aku baik-baik saja." sahut Calvin tanpa memandang mata adik-adiknya.
Gesture dan tanpa eye contact, mana mungkin dipercaya? Syifa dan Adica berpandangan. Cemas, takut bila Calvin kenapa-napa.
"Habis meeting, kita lunch ya? Makan seafood...lama nih nggak makan siang bareng." ajak Adica.
"Wah, ide bagus. Mau ya, Kak?" Syifa menyikut rusuk Calvin, tersenyum penuh arti.
Calvin menolak halus. Ia ingin menyelesaikan masalahnya dengan Silvi. Penolakannya disambuti wajah kecewa kedua adiknya. Alhasil Adica dan Syifa makan siang tanpa Calvin.
Meeting selesai. Calvin kembali ke ruangannya. Menyimpan dokumen, lalu menyalakan laptopnya. Menulis artikel barangkali mampu menenangkan perasaannya. Ia bisa menuliskan apa saja. Siang ini, Calvin menuliskan renungan tentang kekuatan pikiran. Pikiran bisa mempengaruhi hasil. Rupanya Calvin mempercayai kekuatan pikiran.
Setelah menayangkan artikelnya, Calvin bergegas meninggalkan kantor. Menyetir mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ingin sampai di rumah secepatnya.
Setiba di rumah, ia mencari Silvi. Naik-turun tangga. Keluar-masuk ruangan. Dari ruang tamu ke pantry, dari ruang santai ke ruang makan. Dari studio musik ke perpustakaan, dari garasi ke kolam renang. Tak ada. Silvi menghilang.