"Silvi, maaf..."
Calvin mendekatkan wajahnya ke wajah Silvi. Lembut menyibakkan rambut panjang gadis itu. Menyelipkannya di belakang telinga.
"Maaf? Aku tidak butuh maafmu!" sergah Silvi marah. Kedua tangannya ia letakkan di pinggang, matanya berkilat penuh amarah.
"Aku tidak sengaja...sungguh. Aku benar-benar lupa."
Raut wajah Calvin begitu menyesal. Silvi menatapnya tanpa kedip. Berusaha menyembunyikan gejolak rasa di hatinya. Andai saja Calvin tahu rasanya menjadi Silvi. Gadis blasteran Sunda-Inggris itu tidak pernah bermaksud bersikap kasar padanya.Â
Silvi Mauriska yang sebenarnya bukanlah Silvi yang kasar. Pembawaan aslinya justru lembut, anggun, dan hangat. Teman-teman terdekat Silvi mengenalnya sebagai gadis menyenangkan yang baik hati dan sabar. Terkadang sikap Silvi menjadi aneh hanya karena alasan tertentu.
"Lupa? Kamu bilang lupa?" ulang Silvi. Nada suaranya meninggi.
"Kamu membiarkan saudaramu sendiri ketinggalan ibadah? Keterlaluan kamu, Calvin! Bagaimana di akhirat nanti, di dunia saja sudah begini!"
Ini semua gegara Calvin keasyikan berbagi. Sampai-sampai ia terlambat dan lupa membangunkan Silvi untuk shalat Subuh. Alhasil ia tiba di rumah ketika waktu Subuh sudah lewat.
"Astaghfirullah...sorry. Aku benar-benar tidak sengaja. Maaf ya." Calvin beristighfar, mengelus rambut Silvi.
"Sudahlah! Aku tidak butuh maafmu! Toh waktu Subuh sudah lewat!" kata Silvi geram.