Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Special] Mata Pengganti, Pembuka Hati: Darah dari Luka Itu

10 Januari 2018   06:04 Diperbarui: 10 Januari 2018   08:10 932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Syahrena Sayang...kok nggak dimakan? Ini kan sup asparagus kesukaanmu." Silvi bertanya lembut, membelai tangan mungil putrinya.

"Syahrena nggak mau makan!" Gadis kecil itu merajuk, mengentakkan kakinya ke lantai.

"Kenapa, Sayang?"

Kini Calvin yang bertanya. Bingung dengan sikap putri semata wayangnya.

"Abisnya Ayah sama Bunda kayak orang berantem! Duduknya agak jauhan gitu!"

Mendengar itu, Calvin dan Silvi bertukar pandang. Tersadar bila kekakuan hubungan mereka pun tercium oleh Syahrena.

Ini tidak baik. Ini tidak benar. Rutinitas makan malam bersama yang selalu berusaha mereka pertahankan menjadi agak terganggu.

Dengan terpaksa, Silvi mempersempit jarak antara dirinya dan Calvin. Meski hatinya masih berat dirayapi kegundahan dan kekecewaan besar. Andai saja Calvin tak pernah melayangkan gugatan cerai lalu membatalkannya. Tentu saja hubungan mereka tetap harmonis hingga detik ini.

Tak dapat dipungkiri, Silvi marah. Marah pada tindakan Calvin. Untunglah gugatan cerai sudah dicabut. Calvin mencabut gugatan cerainya demi Syahrena. Ia pikir, perceraian sangat tidak baik untuk kondisi psikologis putri tunggalnya. Syahrena terlalu kecil, terlalu cantik untuk terluka. Tak seharusnya dia jadi korban.

Makan malam pun usai. Calvin dan Silvi menemani Syahrena belajar. Membantunya mengerjakan PR. Awalnya memberi kesempatan Syahrena mengerjakannya sendiri. Mereka hanya membantu di bagian soal yang sulit saja.

Waktu belajar bergulir cepat. Sekarang saatnya tidur. Lagi-lagi Calvin dan Silvi menemani anak perempuan berwajah oriental dan bermata biru itu. Silvi membantu Syahrena berganti piyama. Calvin mendongeng untuk Syahrena. Biasanya, Silvi yang melakukan itu. Namun sejak Calvin membacakan Ayat-Ayat Cinta 2 untuk Silvi, ia jadi tergerak juga bercerita sesuatu pada putrinya.

Berharap Silvi akan terkesan? Tidak. Ia masih marah dan kecewa. Calvin sudah terlalu sering membuatnya kecewa. Kalaupun saat ini ia mendongeng untuk Syahrena, bukan hal mengesankan bagi Silvi. Calvin melakukannya hanya ingin menebus rasa bersalah. Skeptis, bukan negatif.

Setengah jam kemudian, Syahrena tertidur. Calvin menyelimuti Syahrena. Silvi buru-buru bangkit dari ranjang, ingin segera kembali ke kamarnya sendiri.

"Silvi, where are you going?" tanya Calvin perlahan.

"Tunggu dulu, Silvi. Kamu masih marah?"

Dua pertanyaan itu enggan dijawabnya. Calvin menyusulnya, memegang lengan wanita itu lembut.

"Sorry..." bisik Calvin.

Bukannya menjawab, Silvi melepaskan tangan Calvin dengan marah. Berjalan cepat menuju pintu. Calvin melangkah menjajarinya, menatapnya penuh permohonan.

"Silvi...bukankah kita sudah sepakat untuk tidak bercerai demi Syahrena? Kasihan Syahrena." Nada suara Calvin terdengar lembut membujuk.

"Ya, kita sudah berjanji! Tapi janji itu bukan berarti membuatku mudah memaafkanmu!" Silvi menaikkan nada suaranya.

Sadar bila mereka berada di tempat yang salah, Calvin membawa Silvi meninggalkan kamar Syahrena. Berjalan turun ke lantai bawah. Melewati ruang depan, lalu berhenti di taman belakang. Ia mendudukkan Silvi di ayunan. Tak peduli pada dinginnya malam. Tak peduli pada deru angin yang menggigiti pergelangan tangan dan tubuh mereka.

"Maaf, Sayang. Tak seharusnya kita bertengkar di kamar Syahrena. Bahaya jika dia mendengarnya." kata Calvin, meminta pengertian istrinya.

Silvi mengangkat dagunya dengan angkuh. "Baru sekarang kaupikirkan Syahrena ya! Lalu, kemana saja pikiranmu itu saat kaulayangkan gugatan cerai padaku? Kemana pikiranmu? Kemana hatimu, Calvin Wan?!"

Benteng pertahanan Silvi runtuh. Sekejap kemudian ia meneriaki Calvin. Menyalahkannya, melemparkan kata-kata tajam, menyakiti Calvin sekuat-kuatnya. Bertekad ingin membuat Calvin sesakit mungkin.

"Kamu tidak tahu bagaimana rasanya! Dan alasanmu ingin bercerai sangat tidak masuk akal! Dengar, ayah-ibuku berselingkuh tapi mereka saja tidak bercerai! Keterlaluan kamu, Calvin!"

Kasus ini, gugatan cerai ini, membuka trauma Silvi. Membuka luka lamanya. Membuat hatinya pedih tak terkira. Ingatan buruk tentang orang tuanya berlompatan keluar. Perselingkuhan, pria yang datang ke rumah tiga kali seminggu, perayaan ulang tahun dengan lelaki selingkuhan ibu, kado dari sang perusak rumah tangga orang, salah satu staf perempuan yang ada affair dengan ayahnya, cinta terlarang. Setiap kenangan berkelebatan tanpa henti. Mimpi buruk itu seolah terulang kembali.

"Aku tak habis pikir, mengapa terlintas di pikiranmu untuk bercerai?! Beraninya kamu melanggar janji pernikahan! Padahal aku tidak salah apa-apa! Aku tidak selingkuh, tidak menduakanmu, dan selalu merawatmu!" teriak Silvi marah.

**      

Kali ini hampir habis dayaku

Membuktikan padamu

Ada cinta yang nyata

Setia hadir seetiap hari

Tak tega biarkan kau sendiri

Meski sering kali

Kau malah asyik sendiri

Karena tak kaulihat

Terkadang malaikat

Tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan

Namun kasih ini

Silakan kauadu

Malaikat juga tahu

Siapa yang jadi juaranya

Hampamu takkan hilang semalam

Oleh pacar impian

Tetapi kesempatan untukku

Yang mungkin tak sempurna

Tapi siap untuk diuji

Ku percaya diri

Cintakulah yang sejati

Namun tak kaulihat

Terkadang malaikat

Tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan

Namun kasih ini

Silakan kauadu

Malaikat juga tahu

Siapa yang jadi juaranya

Kau selalu meminta terus kutemani

Engkau selalu bercanda

Andai wajahku diganti

Tak relakan ku pergi

Karena tak sanggup sendiri (Dewi Lestari-Malaikat Juga Tahu).

**     

Wanita yang marah sebaiknya jangan dilawan. Sekujur tubuh Calvin terasa dingin. Bukan karena suhu udara, melainkan karena shock. Hatinya terguncang mendapati Silvi semarah itu.

"Kamu tidak salah apa-apa, Silvi. Sungguh..." Calvin bergumam lirih, berusaha meredakan amarah wanita berdarah campuran Sunda-Inggris itu.

"Aku tidak percaya! Jangan harap aku mempercayaimu setelah ini, Calvin Wan!"

"Sebuah pilihan..." Suara Calvin sedikit bergetar,

"Untuk percaya atau tidak. Kalau kamu tidak percaya, apalah yang bisa kulakukan."

Kepasrahan dan keletihan tertangkap kuat dalam suara bass itu. Calvin lelah, lelah dan pasrah. Sudah jelas. Silvi tak mempercayainya. Calvin tak tahu harus bagaimana lagi. Hampir habis daya, upaya, dan kemampuannya untuk membuktikan cinta tulusnya pada Silvi. Ada cinta yang nyata, tepat di depan Silvi. Namun si wanita berdarah campuran tak sadar juga. Ironis. Terkadang cinta yang tulus dan nyata tak terlihat, cinta yang terlalu jauh dan tidak realistis justru diharapkan. Calvin tahu,, diam-diam Silvi masih sering mengharapkan si calon rohaniwan itu kembali. Calon rohaniwan berdarah Jawa-Jerman-Skotlandia yang terlanjur mengikat janji selibat.

"Maaf bila aku punya salah padamu, Silvi." Calvin berujar lembut, menatap mata biru istrinya.

Keduanya bertatapan. Sepasang mata sipit di depannya mencerminkan kesedihan dan keletihan. Ada luka di sana. Luka yang sulit sembuh. Pancaran luka hati yang berdarah-darah. Sesungguhnya Silvi tak tega. Ia tak pernah tega menyakiti dan melukai Calvin. Namun, hatinya sendiri pun terlanjur sakit. Caranya melindungi dirinya dengan menyakiti orang yang ia cintai.

"Beraninya kamu menggugat cerai! Lalu kautarik gugatanmu demi Syahrena! Baru sekarang kamu peduli soal anak! Tahu apa kamu soal anak?! Tanpa proses in vitro fertilization, kamu tetaplah pria infertil yang tidak pernah bisa punya anak! Teknologi yang membantumu!"

Sakit, sakit sekali. Silvi telah menyebut-nyebut kekurangan Calvin. Menyebut kelemahan Calvin yang tidak pernah diungkapkan pada siapa pun. Mendengar kelemahannya diungkit oleh orang yang dicintainya berkali lipat lebih sakit.

Kini Calvin kehilangan kata. Tak tahu apa lagi harus berkata apa. Lelah dan pasrah, hanya itu yang dirasakannya. Hatinya pedih luar biasa.

Calvin tertunduk. Darah segar mengalir dari hidungnya, menodai pakaiannya. Darah itu masih belum apa-apa dibandingkan darah yang mengalir dari luka hatinya. Luka yang tak kelihatan, darah yang tak kelihatan, justru jauh lebih menyakitkan.

Melihat darah, Silvi tak sekalipun gentar. Namun hatinya sedih. Sepertinya ia telah melukai Calvin begitu dalam. Calvin Wan tipe pria introvert. Introvert jauh lebih sensitif, jauh lebih rapuh. Lebih mudah tersakiti. Silvi sukses besar. Sukses melukai hati Calvin. Tusukan-tusukan kecilnya di permukaan hati Calvin menorehkan luka dalam. Hati Calvin berdarah. Dan itu karena Silvi.

"Innalillahi..." desis Silvi, bergerak mendekati suami super tampannya.

"Tidak usah, Silvi. Biar aku saja. Nanti tanganmu kotor. Wait..."

Meski telah disakiti, Calvin tetap lembut. Tetap sabar. Mengapa Calvin begitu baik dan sabar padanya? Mengapa Calvin tahan menghadapinya? Pertanyaan itulah yang dilemparkan Silvi selanjutnya.

"Mungkin karena jodoh...mungkin petunjuk bahwa kita berjodohlah yang menggerakkan hatiku untuk bertahan denganmu." jawab Calvin, jujur dan apa adanya.

Jodoh? Mau tak mau, Silvi mengakuinya. Calvin untuk Silvi. Itulah sebabnya ia begitu sabar menghadapi Silvi di tengah kebingungan yang mendera. Mengapa Calvin tak meneruskan saja niat menceraikannya lalu menikahi wanita lain? Calvin sangat tampan, sangat kaya. Mudah baginya mendapatkan wanita lain yang jauh lebih sempurna. Mengapa Silvi yang dipilih Calvin?

"Jodoh," ulang Silvi.

"Ini pasti ada kaitannya dengan pilihan. Sepertinya kamu salah pilih. Memilih bersamaku...sama sekali tak ada keuntungannya buatmu. Aku hanya bisa membuatmu lelah, sakit hati, dan terluka. Mengapa tidak kaunikahi...ehm, siapa itu? Teman lamamu? Janda cantik kaya-raya pemilik lembbaga bimbingan belajar itu?"

"Fatima," Calvin menyela perlahan.

"Nah, iya. Mengapa kamu tidak menikahi Fatima saja? Kalian bisa jadi pasangan serasi. Kamu tampan, Fatima cantik. Kamu charming dan baik, Fatima juga baik. Perhatian lagi. Tinggal kaudekati saja Fatima. Kaubuat anak-anaknya dekat denganmu. Finally, kalian menikah, hidup bahagia, dan kaya-raya. Lalu kamu akan jadi ayah tiri yang sangat baik untuk anak-anaknya Fatima. Jadi suami saleh dan sempurna buat istri sempurna. Bukankah menikah denganku tak ada bahagianya sama sekali?"

Entah Silvi bercanda atau tidak. Yang jelas, ia punya daya imajinasi tinggi. Bagaimana mungkin Silvi membayangkan Calvin Wan bersatu dengan Fatima Az-Zahra sedetail itu? Mungkin lantaran Silvi seorang novelis dan model. Ia terbiasa bekerja di dunia entertainment, dunia yang menuntut kreativitas dan sedikit daya imajinasi.

"Silvi Sayang...ini pilihanku. Pilihanku adalah kamu. Hatiku memilihmu." ujar Calvin sabar.

Pilihan, lagi-lagi soal pilihan. Wajah cantik Silvi mulai dibayangi gurat keraguan sekaligus kesedihan. Perasaannya sulit terlukiskan. Mengapa harus memilih dirinya? Tanda tanya itu terus saja berkejaran di benaknya. Dirinya tidak berguna. Tidak bisa membuat Calvin bahagia. Silvi tidak sebaik Sarah, tidak sepintar Clara, tidak setangguh Fatima, tidak selihai sepupu-sepupunya dalam menyenangkan hati pasangan mereka, tidak sereligius Ice Prince-nya a.k.a Raden Anton Nicholas Surya van Dijk, dan tidak seberuntung kebanyakan sepupunya dalam hal love and relationship. Apa yang istimewa darinya? Mungkin satu-satunya yang istimewa adalah, Silvi berbeda dari mereka. Silvi memilih dan menentukan jalan hidup yang berbeda dari mereka. Silvi menjadi penulis buku, menjadi model, menjadi therapyst dan akademisi sebagai profesi utamanya. Di saat beberapa sepupunya masih kesulitan mencari uang sendiri, Silvi sudah mendapatkan uang dan nama dari buku-buku yang ditulisnya serta beberapa project pemotretan yang diikutinya. Bila sejumlah sepupunya untuk menikah saja harus berhutang, Silvi malah sudah bermain saham. Bahkan ia, Sarah, dan Clara ikut membantu membiayai pernikahan salah satu sepupu akhir tahun lalu. Padahal Silvi yang paling muda di antara mereka, sekaligus paling cantik. Silvilah yang tercantik dalam lingkaran keluarga besar. Di antara mereka, Silvi satu-satunya yang dominan memiliki gen campurannya. Paling kelihatan bedanya, dibanding yang lain. Allah Maha Adil. Ia ambil mata Silvi, namun Ia ukirkan wajah yang jelita, rezeki, dan mata hati sebagai penggantinya. Bila banyak saudaranya yang lain nampak seperti "pribumi", Silvi masih kelihatan "Non Pri"nya. Meski sebenarnya Silvi tidak suka dengan istilah ini. Tak sedikit orang-orang yang kenal baik dengannya menyebutnya "Charming". Lantas, apakah semua itu layak disebut keistimewaan? Apakah dengan semua itu, Silvi cukup layak dan istimewa untuk dipilih Calvin?

Janji Allah itu nyata. Bila Allah mengambil/melemahkan salah satu indera hingga membuatnya tak lengkap, maka Allah akan memberikan banyak karunia lainnya di dunia dan akhirat. Silvi sudah merasakan itu semua.

**        

"Apakah darahnya sudah mengering?"

"Belum, Silvi."

Mereka masih berada di tempat yang sama, posisi yang sama. Ayunan besi itu menjadi saksi bisu dua tubuh yang saling merapat dan mencinta.

"Sorry...." kata Silvi penuh perasaan, dan ia benar-benar menyesal.

"No problem." Calvin berkata menenangkan, lembut membelai rambut Silvi.

Sejurus kemudian Silvi memeluk Calvin. Merasakan wangi Blue Seduction Antonio Banderas berpadu dengan wangi parfumnya sendiri, Escada The Moon Sparkel.

"Ini sebuah risiko. Jika kamu ingin memahami, kamu harus siap terluka dan merasakan sakit." ungkap Silvi.

"I see."

Buku tebal di tangan Calvin terbuka. Seperti biasa, dibacakannya lanjutan Ayat-Ayat Cinta 2 untuk Silvi. Ayat Alquran dan potongan dialog Bahasa Turki dilafalkannya dengan sempurna. Kata-kata indah itu menjadi berkali lipat lebih indah.

Silvi menikmati, sangat menikmati. Sesuatu yang membuatnya senang. Ini menyenangkan. Kisah yang disukainya, seseorang berhati tulus yang membacakannya, dan sepercik bahagia saat mendengarkan seseorang yang baik, yang menyayanginya sepenuh hati, bercerita untuknya. Calvin begitu baik. Silvi bersikap dingin padanya, menunjukkan sikap penolakan, melukai hatinya, menusuk hatinya, membuat hatinya berdarah. Namun, Calvin tetap lembut, sabar, tulus, perhatian, bahkan melanjutkan membacakan buku itu untuknya. Sama sekali tak ada yang berubah.

Kebahagiaan Silvi tak berlangsung lama. Hati wanita itu yang tercipta begitu halus dan perasa, mulai menangkap segenggam kekhawatiran. Ia perhatikan Calvin lekat-lekat. Ada apa dengan blogger super tampan itu? Beberapa kali ia terhenti untuk mengambil nafas. Calvin seperti kelelahan. Menyeka sisa noda darah di hidungnya, ia meneruskan membaca. Khawatir mulai menyergap hati Silvi. Selalu begini. Ia mengingat nasihat Calvin untuk tenang dan berpikir semuanya akan baik-baik saja.

Namun, sepertinya malam ini Calvin tidak baik-baik saja. Ujian datang lagi. Mengapa tiap kali membacakan buku untuk istri cantiknya, Calvin selalu saja merasakan sakit di ginjalnya? Sakit ini datang di saat tak tepat.

"Yeah, I'm not bad. Lagi-lagi Fahri menjawab dengan aksen Skotlandia."

Sampai di sini, semuanya seperti terhenti. Calvin batuk darah, lalu jatuh pingsan. Buku di tangannya terlepas dan mendarat mulus di halaman berumput.

Beruntung Silvi tak sendiri. Segera saja beberapa asisten rumah tangga dan satu orang supir keluarga membantunya mengangkat tubuh Calvin. Alphard meluncur cepat menembus dinginnya malam menuju rumah sakit. Membawa raga yang digerogoti ganasnya Hipernefroma, membawa dua hati yang terpagut rasa sakit dan cinta. Salah satu dari dua hati itu masih berdarah.

**       

https://www.youtube.com/watch?v=kqcfgdFf7_4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun