Silvi mengangkat dagunya dengan angkuh. "Baru sekarang kaupikirkan Syahrena ya! Lalu, kemana saja pikiranmu itu saat kaulayangkan gugatan cerai padaku? Kemana pikiranmu? Kemana hatimu, Calvin Wan?!"
Benteng pertahanan Silvi runtuh. Sekejap kemudian ia meneriaki Calvin. Menyalahkannya, melemparkan kata-kata tajam, menyakiti Calvin sekuat-kuatnya. Bertekad ingin membuat Calvin sesakit mungkin.
"Kamu tidak tahu bagaimana rasanya! Dan alasanmu ingin bercerai sangat tidak masuk akal! Dengar, ayah-ibuku berselingkuh tapi mereka saja tidak bercerai! Keterlaluan kamu, Calvin!"
Kasus ini, gugatan cerai ini, membuka trauma Silvi. Membuka luka lamanya. Membuat hatinya pedih tak terkira. Ingatan buruk tentang orang tuanya berlompatan keluar. Perselingkuhan, pria yang datang ke rumah tiga kali seminggu, perayaan ulang tahun dengan lelaki selingkuhan ibu, kado dari sang perusak rumah tangga orang, salah satu staf perempuan yang ada affair dengan ayahnya, cinta terlarang. Setiap kenangan berkelebatan tanpa henti. Mimpi buruk itu seolah terulang kembali.
"Aku tak habis pikir, mengapa terlintas di pikiranmu untuk bercerai?! Beraninya kamu melanggar janji pernikahan! Padahal aku tidak salah apa-apa! Aku tidak selingkuh, tidak menduakanmu, dan selalu merawatmu!" teriak Silvi marah.
** Â Â Â
Kali ini hampir habis dayaku
Membuktikan padamu
Ada cinta yang nyata
Setia hadir seetiap hari
Tak tega biarkan kau sendiri