"Tidak! Aku tidak mau!"
Silvi berteriak, melepaskan tangan Calvin. Ini sungguh tidak adil. Baru sebentar mereka berbahagia, baru sejenak mereka merasakan kebersamaan itu, tetiba saja harus terenggut dengan satu kata paling menyakitkan: perceraian.
"Mengertilah, Silvi. Aku ingin bercerai bukan karena tak mencintaimu lagi. Justru aku sangat mencintaimu. Ini demi kebaikanmu sendiri." ujar Calvin lembut.
"Itu bukan demi kebaikanmu! Calvin, dengarkan aku! Bercerai sama saja melanggar janji setia pada Tuhan!" hardik Silvi, sedih dan marah.
"Silvi, untuk pria sepertiku, dengan kondisiku sekarang ini, sudah tak ada lagi harapan. Waktu yang kumiliki tidak banyak lagi. Aku..."
"Kamu masih punya harapan! Dan aku masih berharap kamu milikku! Kamu untukku!"
Air mata Silvi berjatuhan. Calvin tertunduk. Ia tak bisa melihat wanita yang dicintainya menangis. Silvi menangis, ini semua karena dirinya.
"Calvin..." Silvi berucap di tengah tangisnya.
"Apakah bercerai jalan terbaik?"
Entahlah. Sesungguhnya, ini bukan jalan terbaik. Apa yang dipersatukan Tuhan, tak seharusnya dipisahkan oleh manusia. Bblogger dan peragawan super tampan yang tegar itu hancur juga. Calvin menangis, hidungnya berdarah. Air mata mengalir bersamaan dengan darah segar.
Cinta mereka tengah diuji. Bukan hanya ujian penyakit mematikan di salah satu pihak, melainkan ujian yang mengarah pada perceraian. Perceraian, jalan terakhir. Jalan paling buruk. Jalan paling menyedihkan.