Belum lama mereka menikmatinya, kedamaian itu terusik oleh penanda notifikasi di ponsel pintar milik Calvin. Silvi mendesah tak kentara. Sejak tadi siang ia menonaktifkan gadgetnya. Begitulah yang ia lakukan tiap kali berada di samping orang-orang yang dicintainya. Seluruh waktu dan perhatiannya terfokus untuk mereka, bukan pada gawai.
Sesaat membaca pesan Whatsapp itu, wajah Calvin berubah suram. Dengan cepat ia mengetikkan balasannya, sungguh tak menyangka apa yang telah terjadi.
"Hei...what's the matter with you?"
"Difforce."
Satu kata terucap lirih. Calvin tak tega mengatakannya, tapi ia harus katakan. Silvi mengerutkan kening.
"Apa?"
Gundah, Calvin meletakkan kembali handphone-nya. Lalu dielusnya rambut panjang Silvi.
"Temanku bercerai dengan istrinya, Silvi."
"Innalillahi...kenapa?"
"Perbedaan agama. Sebenarnya, pernikahan mereka tidak mendapat restu keluarga wanita. Sebab temanku itu tak mau memeluk Islam. Ia berkeras tetap pada agama lamanya. So, mereka terpaksa menikah di Singapura. Temanku tetap memeluk Kong Hu Cu, istrinya juga tetap memeluk Islam. Sampai akhirnya, mereka punya anak. Mereka bingung harus mendidik anaknya dengan agama apa. Ah ini sulit, sangat sulit. Perceraian adalah jalan terbaik bagi mereka."
Silvi menutup wajah. Kaget dengan berita perceraian ini. Perceraian adalah sesuatu yang dibenci Tuhan. Agama mana pun tidak menyukai perceraian.