"Astaghfirullah...mengapa mereka harus bercerai?" gumam Silvi.
"Terkadang bercerai adalah jalan terbaik, Silvi." Calvin berkata, nada suaranya semakin lembut.
"Apa maksudmu?"
Hening. Calvin menatap Silvi dalam-dalam, menatapnya penuh cinta.
"Itu pula alasanku mengajakmu liburan, Silvi. Aku punya satu permintaan."
Detik demi detik Silvi menunggu. Hatinya gamang. Firasat buruk menyelusup di benaknya.
"Silvi, aku ingin kita bercerai."
Petir menggelegar. Di luar sana, bulan dan bintang-bintang tertutup awan kelam. Langit malam yang semula bertabur bintang kini sempurna gelap gulita. Bunyi petir menyusul cahaya kilat menggetarkan kaca-kaca jendela. Disusul hujan deras mengguyur tanpa henti.
"Calvin, kenapa...? Kenapa harus bercerai?" tanya Silvi, suaranya bergetar.
Calvin menghela nafas panjang. Memegang dagu Silvi, mengangkatnya. Mengisyaratkan wanita itu untuk menatapnya.
"Aku sudah tidak punya harapan lagi, Love. Aku hanya penderita kanker yang menunggu kematian. Dari pada kamu merasakan kehilangan yang jauh lebih sakit nantinya, lebih baik kaurasakan kehilangan sekarang. Tapi sakitnya takkan lama. Kamu akan mendapatkan penggantiku. Sudah kupilihkan mata pengganti untukmu."