Ternyata, begini sikap Calvin yang sesungguhnya. Mata birunya meredup. Tak ada lagi senyum ceria bermotif pemberi kejutan. Silvi jengkel, muak, kecewa, dan gemas. Satu kakinya bergerak mundur, disusul kaki lainnya. Bersiap meninggalkan kantor ini. Namun...
"Silvi?"
Wajah dingin dan beku itu, seketika melembut. Berubah menjadi sangat lembut. Tak ada lagi rona kemarahan di situ. Wajah yang semula dingin membeku, melembut. Kelembutan yang terlambat, pikir Silvi sinis. Calvin bergegas menghampirinya, mencoba meraih lembut tangannya.
"Aku tidak tahu kamu akan datang. Ayo kita lunch. Kamu mau makan apa? Atau kamu ingin kubacakan lanjutan buku itu?" Calvin bertanya, menatap hangat mata Silvi.
"Tidak perlu," balas Silvi dengan nada lembut berbahaya.
"Terus? Kamu mau apa? Hm?" Calvin mendekatkan wajah tampannya ke wajah Silvi, tersenyum menawan.
"Nothing. Aku kecewa padamu." sergah Silvi, lalu bergegas pergi.
"Tunggu, Silvi. Kenapa lagi? Aku salah apa lagi?"
"Pikir saja sendiri. Sulit sekali membuatmu mengerti."
Ini benar. Sulit, sangat sulit. Bertahun-tahun Silvi mencoba, tapi Calvin tak pernah mengerti.
Calvin menghela nafas. Memandang sedih wajah cantik di hadapannya.