Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Special] Mata Pengganti, Pembuka Hati, "Guilty Feeling"

6 Januari 2018   05:57 Diperbarui: 6 Januari 2018   08:13 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lagi-lagi tidak ada sahutan. Tuan Effendi dan Nyonya Roselina bertukar pandang. Sudah siap dengan kemungkinan terpahit. Calvin memang tertutup dan sulit ditebak.

Perlahan Calvin beranjak dari sofa. Menerima tangan Silvi ketika si gadis cantik ingin menggandengnya. Keduanya berjalan bergandengan tangan ke lantai atas. Silvi menggandeng tangan kakak barunya. Tangan Calvin terasa dingin. Mereka menaiki tangga, berjalan menyusuri koridor di lantai atas. Berjalan dalam diam.

Keheningan yang menyusul terasa canggung. Namun Silvi berusaha menikmatinya. Mungkin Calvin masih belum terbiasa. Lama-lama ia akan nyaman juga. Berpikir positif, itulah yang Silvi lakukan.

"Nah, ini kamarmu. Persis di sebelah kanan kamarku. Biar dekat kalau kamu butuh aku." tunjuk Silvi ke arah pintu kayu berpernis mengilap itu.

Sebuah kamar tidur luas berkarpet tebal lengkap dengan balkon dan kamar mandi pribadi. Mirip dengan kamar di rumah lamanya. Calvin mengedarkan pandang ke sekeliling kamar. Sebuah ranjang king size berseprai putih, perangkat komputer dengan printer dan scanner, lemari baru, rak buku, sebuah grand piano, televisi plasma, dan meja belajar. Barang yang paling menarik baginya adalah seperangkat komputer itu. Ia bisa menulis, bisa meneruskan kegiatan bloggingnya lagi. Masih belia, tapi sudah jadi blogger terkenal. Begitulah Calvin Wan.

"Lengkap kan? Ada pianonya juga...seperti di kamarku. Kamu pasti suka." ujar Silvi riang.

"Kenapa harus ada piano?"

Nyaris saja Silvi kehilangan keseimbangan mendengar nada tajam dalam suara kakak barunya. Ini pertama kali Calvin bicara padanya. Dingin, sinis, dan tak terduga.

"Kenapa? Kamu...kamu nggak suka ya?" tanya Silvi terbata.

"Aku nggak bisa main piano."

Jawaban Calvin membuat Silvi kaget. Benarkah begitu? Ini di luar ekspektasinya. Ia pikir, Calvin bisa bermain piano. Seperti si Jonathan, teman sekelasnya itu. Jonathan, anak konglomerat Tionghoa yang punya banyak fans, pintar sekali bermain piano. Silvi saja iri padanya. Ia ingin semahir Jonathan. Semula, dipikirnya Calvin seperti itu. Nanti dia akan meminta diajari Calvin bermain piano dengan baik. Kenyataannya tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun