Keduanya mengenang, terus mengenang. Kenangan masa kecil mereka yang paling mendominasi. Momen tatapan pertama di mobil, malam bertabur bintang saat keluarga besar mereka berkumpul bersama dan keduanya duduk begitu dekat, buku pertama, belaian di rambut, gaun merah muda, dan kumpulan surat-surat yang hilang. Anton, sepupu laki-laki paling dingin sejagat, paling jarang tersenyum, paling arogan, paling tinggi, dan paling tampan, sontak berubah hangat dan banyak berinteraksi saat bertemu sepupu jauhnya yang paling cantik. Alumni UNS yang kini concern dengan bisnis rumah makannya itu jatuh hati dan menjadi sangat terbuka pada Silvi. Padahal dengan ibu, ayah, dan saudara-saudaranya sendiri, ia sangat dingin dan tertutup.
Raden Anton Nicholas Surya van Dijk bukanlah pria yang pandai merangkai kata. Si pria berdarah biru blasteran Jawa-Belanda yang kerap kali dijuluki pangeran es oleh Silvi. Meski hidup layaknya pangeran dengan rumah besar, mobil mewah, dan kenyataannya ia memang berdarah ningrat, Anton justru tumbuh menjadi pribadi yang sangat mandiri. Tak mau berada di bawah bayang-bayang orang tuanya. Anton sukses dengan usahanya sendiri. Si pangeran es berdarah bangsawan yang tekun dan penuh pesona.
"Ingatkah kamu? Sehari setelah aku mengisi acara di gubernuran itu, malamnya kamu tidak tidur karena menemaniku? Kamu berkorban waktu untukku, bahkan waktu istirahatmu rela kaukorbankan demi aku." Silvi tersenyum kecil, senang sekali membongkar kenangan di masa lalu.
Sementara sepasang sepupu jauh itu saling membagi kenangan, Calvin hanya bisa terpaku. Mengawasi mereka dari jarak aman. Bersandar di kap mobilnya, merasakan hatinya berdenyut makin sakit. Masih segar dalam ingatannya cerita-cerita Ssilvi tentang pangeran es itu. Cerita yang sedikit banyak meruntuhkan niat Calvin. Kisah kesuksesan si pangeran es berdarah biru yang berusaha sendiri dari nol. Tidak mau mengandalkan kekayaan orang tuanya. Tanpa sadar, Calvin membandingkan Anton dengan dirinya sendiri. Anton berhasil dengan kekuatannya sendiri, sementara dia? Bekerja di perusahaan keluarga, menjalankan perusahaan warisan, tak pernah bisa membuat perusahaan sendiri. Di keluarganya, meskipun sangat dingin dan tertutup, Anton punya sisi religius yang tinggi. Saleh tak tanggung-tanggung. Ibadah nomor satu, tak setenggah-setengah. Ibadah wajib, ibadah sunnah, semua dilakoninya. Tak pernah merokok, menyentuh alkohol, dan berbuat sesuatu yang dilarang agama. Andai saja Anton menikah, istri dan anak-anaknya akan beruntung memiliki Imam seperti dia. Bukan hanya Imam dalam shalat, melainkan Imam dalam memimpin keluarga. Pangeran es yang saleh. Mungkin terkesan mengada-ada dan tak masuk akal. Namun sosok sebaik dan setampan itu memang benar-benar ada. Paket lengkap, begitu kata Silvi.
Melihat mereka berdua, Calvin pesimis. Anton bukan saja pangeran es yang saleh. Ia pun layak menjadi Prince Charmingnya Silvi. Amat jauh berbeda dengan Calvin. Keduanya tak bisa dibandingkan.
Calvin melihat Anton sebagai figur yang terlalu sempurna. Begitu pula cara Silvi melihat sepupu jauhnya. Mengapa manusia alim, tampan, dan kaya itu tak kunjung menikah? Sebuah misteri besar. Silvi pernah mengatakan pada Calvin, ia berharap Anton tidak usah menikah saja seperti dirinya. Agar ada yang menemani. Apakah doa Silvi terjawab? Kata-kata adalah doa.
Datang tanpa permisi, rasa sakit itu menusuk bagian bawah perutnya. Celakanya, sakit ini datang di saat tidak tepat. Datang di saat ia ingin mengetahui sedalam apa perasaan Anton dan Silvi.
Blogger super tampan mantan duta budaya itu berusaha bertahan di posisinya. Tetap berdiri, meski ginjalnya terasa amat sakit.
"La haula wala quwata illa billah...la haula wala quwata illa billah. Jangan sekarang..." rintih Calvin, menyebut namaNya.
Suara bantingan pintu mobil menyadarkannya. Seorang pria setengah baya berambut putih berlari-lari ke arahnya.
"Tuan...Tuan kenapa?"