Brak!
Silvi membanting pintu di depan wajah Calvin. Sekuat tenaga ia hempaskan pintu jati itu. Pedih hatinya melihat pria oriental itu lebih lama lagi.
Tak menyerah, Calvin kembali mengetuk pintu. Membujuk Silvi untuk membukanya. Meminta si gadis darah campuran mendengarkan penjelasannya.
Di luar dugaan, pintu kembali terbuka. Calvin menghela nafas lega. Bersyukur akhirnya Silvi memberi kesempatan kedua. Sayang sekali, kenyataannya tidak.
Silvi malah mendamprat Calvin habis-habisan. Mata birunya berkilat marah. Bertelekan pinggang, gadis itu meneriaki Calvin.
"Puas kamu mengataiku berbahaya?! Puas membuatku menangis? Pergi kamu, Calvin Wan!"
Pria Tionghoa itu menunduk, menyesali kekeliruannya. Tak semestinya ia bawa masa lalu Silvi dalam candaan. Tak seharusnya Calvin menyinggung perasaan Silvi.
"Maaf...maafkan aku." Calvin bergumam pelan, menatap lurus sepasang mata biru yang berkobar penuh amarah itu.
"Terlambat! Pergi kamu! Pergi!"
Didorongnya tubuh Calvin. Sejauh mungkin darinya. Silvi kesal, marah, bercampur gemas pada blogger super tampan ini. Baginya, Calvin sudah keterlaluan.
"Apa aku tidak boleh minta maaf?" tanya Calvin.
Belum sempat Silvi menjawab, deru mobil memecah keheningan malam. Sebuah Mercy menepi, berhenti tepat di depan Alphard milik Calvin. Dua kendaraan mewah itu terparkir manis di depan rumah Princess Silvi.
Pintu mobil terbuka. Sekilas Calvin melirik mobil mewah itu. Platnya AD. Jelas bukan dari kota bunga ini. Melainkan dari kota batik dan kota budaya jauh di sana.
Seorang pria tampan berpostur atletis dan berkemeja grey turun dari mobil. Berjalan tegap memasuki halaman, satu tangannya membawa paperbag. Gurat keletihan tersamar di balik senyum tipisnya. Pria cool yang sangat charming, lembut namun tetap maskulin.
"Anton! Masya Allah...laa illaha ilallah, kamu datang?"
Tak sengaja Calvin terdorong minggir. Silvi berlari dengan lengan terentang. Meelempar diri ke pelukan pria tampan berkemeja grey itu.
Sepasang sepupu jauh itu berpelukan. Lengan Silvi melingkar mesra di leher pria yang tergolong priyayi Mangkunegara itu. Anton mengelus-elus rambut Silvi dengan lembut.
"Apa kabar, Princess?" tanyanya.
"Yah...not too bad. Kamu?"
Dari sudut mata, Calvin memperhatikan kedekatan mereka berdua. Hatinya berdenyut perih. Cemburu? Inikah pria bergelar Raden dan berdarah biru yang sering diceritakan Silvi?
** Â Â Â
Aku tahu dirimu kini
Telah ada yang memiliki
Tapi bagaimanakah dengan diriku
Tak mungkin ku sanggup kehilangan dirimu
Aku tahu bukan saatnya
Tuk mengharap cintamu lagi
Tapi bagaimanakah dengan hatiku
Tak mungkin ku sanggup hidup begini
Tanpa cintamu (Rossa-Tega).
** Â Â Â
Sepasang mata biru bertemu sepasang mata hazel. Saling tatap, tak banyak kata. Cukup dalam diam mereka mampu saling memahami. Cinta dalam hening, cinta dalam diam.
Perlahan Anton meneguk Earl Greynya. Menikmati kehangatannya, menikmati tatapan gadis cantik itu. Kursi-kursi rotan di teras, meja kecil berlapis kaca, dan pot tanaman seolah mampu mendengar. Tembok berbicara, langit punya mata, dan lantai punya telinga. Berebut merekam cinta dalam keheningan di antara dua insan berdarah biru ini. Darah biru karena ningrat, darah campuran dari benua biru.
Silvi duduk dengan canggung di pinggir kursinya. Menatap wajah sepupu jauhnya lama-lama. Mematrinya di hati. Memenuhi kuota kerinduannya yang membengkak dan terus membengkak. Tak sadar bila pria lain yang menyingkir ke Alphardnya tengah patah hati.
"Benarkah Sarah akan menikah dengan Yogi?" Anton membuka pembicaraan.
Refleks Silvi menengadah. "Iya. Enam bulan lagi."
Helaan nafas berat menyusul. Silvi paham, amat paham. Mata hatinya bergerak menembus kedalaman hati Anton.
"Syukurlah." ucap Anton akhirnya.
"Tak apa-apa kalau kamu ingin bersedih. Tumpahkan saja di sini. Tangan dan hatiku siap menampungnya." tawar Silvi lembut.
"Ikhlas, Silvi. Itu yang sekarang sedang berusaha aku jalani. Tapi untuk itu aku butuh kamu."
Mendengar itu, si gadis bermata biru tertegun. Perkataan Anton terucap begitu letih, sekaligus ikhlas, sekaligus pasrah. Bukan hanya itu. Ucapannya, seperti dialog tokoh Fahri dalam film Ayat-Ayat Cinta 2.
"I see. Aku akan ada...selama kau butuh aku." ungkap Silvi tulus.
"Sekarang ini, Sarah sudah ada yang memiliki. Kamu ingat kan? Dulu dia teman pena...kami sering main surat-suratan." Anton tersenyum sedih, mengingat kembali kenangan masa kecilnya.
"Iya, aku ingat. Lalu aku dekat denganmu, kamu sering main ke rumahku. Kamu dulu aktif sekali...banyak bicara, sering membuat orang tua kita tertawa dengan tingkahmu."
Keduanya mengenang, terus mengenang. Kenangan masa kecil mereka yang paling mendominasi. Momen tatapan pertama di mobil, malam bertabur bintang saat keluarga besar mereka berkumpul bersama dan keduanya duduk begitu dekat, buku pertama, belaian di rambut, gaun merah muda, dan kumpulan surat-surat yang hilang. Anton, sepupu laki-laki paling dingin sejagat, paling jarang tersenyum, paling arogan, paling tinggi, dan paling tampan, sontak berubah hangat dan banyak berinteraksi saat bertemu sepupu jauhnya yang paling cantik. Alumni UNS yang kini concern dengan bisnis rumah makannya itu jatuh hati dan menjadi sangat terbuka pada Silvi. Padahal dengan ibu, ayah, dan saudara-saudaranya sendiri, ia sangat dingin dan tertutup.
Raden Anton Nicholas Surya van Dijk bukanlah pria yang pandai merangkai kata. Si pria berdarah biru blasteran Jawa-Belanda yang kerap kali dijuluki pangeran es oleh Silvi. Meski hidup layaknya pangeran dengan rumah besar, mobil mewah, dan kenyataannya ia memang berdarah ningrat, Anton justru tumbuh menjadi pribadi yang sangat mandiri. Tak mau berada di bawah bayang-bayang orang tuanya. Anton sukses dengan usahanya sendiri. Si pangeran es berdarah bangsawan yang tekun dan penuh pesona.
"Ingatkah kamu? Sehari setelah aku mengisi acara di gubernuran itu, malamnya kamu tidak tidur karena menemaniku? Kamu berkorban waktu untukku, bahkan waktu istirahatmu rela kaukorbankan demi aku." Silvi tersenyum kecil, senang sekali membongkar kenangan di masa lalu.
Sementara sepasang sepupu jauh itu saling membagi kenangan, Calvin hanya bisa terpaku. Mengawasi mereka dari jarak aman. Bersandar di kap mobilnya, merasakan hatinya berdenyut makin sakit. Masih segar dalam ingatannya cerita-cerita Ssilvi tentang pangeran es itu. Cerita yang sedikit banyak meruntuhkan niat Calvin. Kisah kesuksesan si pangeran es berdarah biru yang berusaha sendiri dari nol. Tidak mau mengandalkan kekayaan orang tuanya. Tanpa sadar, Calvin membandingkan Anton dengan dirinya sendiri. Anton berhasil dengan kekuatannya sendiri, sementara dia? Bekerja di perusahaan keluarga, menjalankan perusahaan warisan, tak pernah bisa membuat perusahaan sendiri. Di keluarganya, meskipun sangat dingin dan tertutup, Anton punya sisi religius yang tinggi. Saleh tak tanggung-tanggung. Ibadah nomor satu, tak setenggah-setengah. Ibadah wajib, ibadah sunnah, semua dilakoninya. Tak pernah merokok, menyentuh alkohol, dan berbuat sesuatu yang dilarang agama. Andai saja Anton menikah, istri dan anak-anaknya akan beruntung memiliki Imam seperti dia. Bukan hanya Imam dalam shalat, melainkan Imam dalam memimpin keluarga. Pangeran es yang saleh. Mungkin terkesan mengada-ada dan tak masuk akal. Namun sosok sebaik dan setampan itu memang benar-benar ada. Paket lengkap, begitu kata Silvi.
Melihat mereka berdua, Calvin pesimis. Anton bukan saja pangeran es yang saleh. Ia pun layak menjadi Prince Charmingnya Silvi. Amat jauh berbeda dengan Calvin. Keduanya tak bisa dibandingkan.
Calvin melihat Anton sebagai figur yang terlalu sempurna. Begitu pula cara Silvi melihat sepupu jauhnya. Mengapa manusia alim, tampan, dan kaya itu tak kunjung menikah? Sebuah misteri besar. Silvi pernah mengatakan pada Calvin, ia berharap Anton tidak usah menikah saja seperti dirinya. Agar ada yang menemani. Apakah doa Silvi terjawab? Kata-kata adalah doa.
Datang tanpa permisi, rasa sakit itu menusuk bagian bawah perutnya. Celakanya, sakit ini datang di saat tidak tepat. Datang di saat ia ingin mengetahui sedalam apa perasaan Anton dan Silvi.
Blogger super tampan mantan duta budaya itu berusaha bertahan di posisinya. Tetap berdiri, meski ginjalnya terasa amat sakit.
"La haula wala quwata illa billah...la haula wala quwata illa billah. Jangan sekarang..." rintih Calvin, menyebut namaNya.
Suara bantingan pintu mobil menyadarkannya. Seorang pria setengah baya berambut putih berlari-lari ke arahnya.
"Tuan...Tuan kenapa?"
Pria yang baru saja turun dari Mercy milik si pangeran es itu mendekati Calvin. Menatap cemas wajah piasnya. Mengamati perut bagian bawah Calvin.
"Tuan...Tuan tidak apa-apa? Tadi saya kira Tuan Muda Anton." tanya pria setengah baya itu seraya membantu Calvin agar tetap berdiri.
"Saya tidak apa-apa. Terima kasih," jawab Calvin menenangkan.
"Oh begitu. Tuan ini apanya Non Silvi ya?"
Entah Calvin menjawab apa. Ingin sekali ia jawab, dirinya adalah Prince Charming untuk Silvi. Namun, hadirnya Anton membuat segalanya bertambah runyam. Sebenarnya, siapakah yang layak menjadi Prince Charming? Raden Anton Nicholas Surya van Dijk ataukah Calvin Wan?
"Dor!"
Seseorang memukul punggungnya keras-keras. Sengaja betul mengagetkannya. Calvin memutar tubuh, mendapati Adica berdiri di belakangnya. Tersenyum tanpa dosa. Anak ini benar-benar keterlaluan. Bisanya membuat keributan saja.
"Hayooo...Silvi pilih siapa?" Adica menyeringai lebar, menunjuk-nunjuk Calvin.
"Ehm...Silvi pilih yang bawa Mercy atau yang bawa Alphard ya? Pilih yang datang sama supir pribadi atau yang nyetir sendiri ya?"
Makin kelewatan Adica. Calvin tetap sabar. Ia menundukkan wajah, enggan menatap adiknya.
"Silvi suka dim sum atau Erwtensoep ya?" Sekali lagi Adica menggoda kakaknya, menyebut sup kacang khas Belanda.
Bukan Calvin Wan namanya bila tak bisa sabar. Dari mana pula adiknya tahu dia ada di sini? Adica memang paling jago kalau memata-matai orang.
"Silvi maunya Cheongsam atau Klederdracht ya?"
Adica tertawa, kali ini malah menyebut pakaian adat China dan pakaian adat Belanda. Menghela nafas sabar, Calvin tetap memfokuskan pandangannya ke arah Anton dan Silvi. Begitu fokusnya sampai-sampai ia tak menyadari ada aliran darah segarr dari hidungnya. Tetesan darah membasahi kemeja putihnya, sempurna menciptakan noda merah besar di atas warna putih. Darah itu, seharusnya tak boleh mengalir.
** Â Â Â
Tersenyum di balik masker oksigennya. Ia berada di sini lagi, di ruangan putih pucat ini lagi. Pelan-pelan tangannya terangkat. Melepas masker oksigen. Sudah beberapa hari ia terbaring di sini. Peralatan medis mengelilinginya, paramedis menjaganya, Adica menemaninya.
Selama beberapa hari, Calvin tak bertemu Silvi. Silvi tak datang menjenguknya. Entah apatis, entah tidak tahu keadaannya. Mungkin pula Silvi terlalu sibuk bersama pangeran es itu.
Di paviliun mewah sebuah rumah sakit internasional, penuh fasilitas lengkap dan dikelilingi orang-orang yang memperhatikan, Calvin berusaha menikmatinya. Calvin berterima kasih pada Adica, adik yang selalu setia menemaninya. Tidak terkalahkan oleh penyakit, Calvin merenungkan hal apa saja yang bisa dilakukannya dalam kesakitan dan kesepian. Perenungannya membawa pada berbagai jawaban. Alhasil, Calvin berusaha menikmati segala rasa sakitnya dengan membaca buku, menonton film, dan menulis artikel di media citizen journalism itu. Rasa sakit itu ia taklukkan dengan caranya sendiri.
"Film action lagi..." komentar Adica, melempar pandang penuh arti ke layar plasma.
"Yups. Favoritku."
"Hmm...novel detektif jadi favoritmu, sekarang film action jadi kesukaanmu. Tapi kamu hebat. Kamu bisa melawan rasa sakit dengan caramu sendiri."
Entah itu sekadar pujian atau benar-benar tulus. Adica menarik kursi ke dekat ranjang, lalu mengenyakkan tubuh di atasnya.
"By the way, kenapa Silvi tidak datang menjengukmu?"
Pertanyaan sulit. Tak ada jawabannya. Calvin terdiam, konsentrasinya tetiba saja pecah.
"Mungkin dia lebih memilih pangeran es itu dari pada kamu." Adica berkata dengan nada tenang, ingin tahu reaksi Calvin.
"Asal kamu tahu saja. Kebanyakan priyayi nikahnya sama priyayi lagi. Pilihannya memang terbatas, apa lagi macam Silvi dan pangeran esnya itu. Lihat dirimu, Calvin. Lihat keluarga kita. Ok fine, keluarga kita terhormat. Keluarga kita terpandang dan kaya. Tapi tidak ada darah birunya. Susah, Calvin. Sangat susah."
Realistis juga. Hal itu benar. Walau terkesan konservatif, tetap saja masih ada sebagian kecil yang mempermasalahkan status darah. Sayangnya, Calvin tak memiliki setetes pun darah biru. Ia bukan Andi, bukan Tubagus, bukan Raden, bukan pula bangsawan dari ras lainnya. Hanya anggota keluarga berdarah campuran yang kebetulan sangat kaya.
"Kemungkinannya sangat kecil, Calvin. Kecuali bila Silvi benar-benar mencintaimu. Jika benar dia mencintaimu, kamu pun bisa jadi Prince Charming. Prince Charming yang menikahi putri cantik yang istimewa."
Pertanyaan besarnya kini adalah, Calvin Wan ataukah Raden Anton Nicholas Surya van Dijk yang akan menjadi Prince Charming itu?
** Â Â Â Â
https://www.youtube.com/watch?v=0Y1_3MHeK-w
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H