Berlanjut pada penyembuhan luka hati. Silvi yang terluka disembuhkan oleh kehadiran Calvin. Disusul penjebakan diri pada sesuatu yang rumit.
Kerumitan berlalu selama setengah tahun. Entahlah, segalanya absurd bagi Calvin dan Silvi. Rahasia demi rahasia terungkap.
Sampai akhirnya mereka tiba di titik ini: penyatuan dan halangan besar. Halangan itu justru datang dari orang tua Silvi. Mereka pasangan suami-istri konservatif. Masih melihat seseorang dari bibit, bebet, bobot, dan masa lalunya. Mereka menyelidiki dan menelusuri siapa Calvin sebenarnya. Putra semata wayang hasil pernikahan campur Jawa-Tionghoa. Pernikahan di bawah tangan karena Calvin Wan, mantan Koko-Cici DKI Jakarta sekaligus manager dan blogger super tampan itu, hanyalah anak istri simpanan.
Lebih dari itu. Karier dan wajah sempurna tak bisa diimbangi dengan kesehatan sempurna pula. Penyakit katastropik yang belum juga sembuh, dan vonis infertilitas, membuat kepercayaan keluarga hancur seketika. Calvin di-blacklist oleh kedua orang tua Silvi.
Kini, Silvi kembali patah hati. Terpisah dengan belahan jiwa. Terhalang restu dan sulitnya penerimaan hati.
"Calvin...I miss you. Hati ini selalu milikmu. Sekalipun aku tak bersamamu."
Silvi menangis. Memeluk boneka-bonekanya satu per satu. Mengadukan penat dan letihnya jiwa hanya pada mereka.
Sejurus kemudian dibukanya Alquran. Dibacanya surah favoritnya: Al-Ikhlas. Surah yang tidak ada kata ikhlasnya, namun ia sangat suka. Justru di situlah letak keikhlasannya. Menebar keikhlasan, kemurnian, ketulusan tanpa kata ikhlas.
Tepat ketika ayat keempat selesai dibaca, pintu kamar terbuka. Ibunya datang. Membawakan gaun cantik perpaduan warna magenta. Bukan warna favorit Silvi. Ia lebih menyukai warna putih.
"Silvi, ayo turun Sayang. Calon tunanganmu sudah datang."
Calon tunangan? Apa ini? Dia tak mau dijodohkan dengan siapa pun. Silvi Mauriska tetaplah milik Calvin Wan.