Silvi memalingkan wajah. Dia sudah tak tahan. Enam tahun tanpa perubahan. Enam tahun pernikahan mereka begitu hampa. Tanpa hadirnya anak. Calvin tak mampu membuat Silvi meneruskan keturunan mereka. Kondisi Calvin terlalu lemah.
"Ini semua gara-gara kamu! Dari awal, kamu hanya ikhlas, ikhlas, dan ikhlas tanpa berusaha! Katamu, kamu mencoba menerima kenyataan! Menerima kenyataan tanpa ada usaha untuk mengobatinya!" Silvi melanjutkan aksinya memprotes suami super tampannya.
"Silvi, aku sudah berusaha. Kenapa kamu tidak percaya padaku?" tanya Calvin, sedikit keputusasaan menghiasi wajahnya.
"Tidak, kamu tidak pernah berusaha." sela Silvi dingin.
"Revan Tendean jauh lebih baik."
"Siapa itu Revan?" Calvin bertanya, alisnya terangkat.
Sebagai jawaban, Silvi mengambil sebuah buklet. Menunjukkan foto-foto para peragawan, peragawati, dan alumni duta wisata. Ada foto Silvi di antaranya. Lalu terpampang foto seorang pria berkulit putih dan berdagu lancip. Pria itu berwajah Indo, tampan sekali. Sekilas dia jauh lebih tampan dari Calvin.
Ingatan Calvin memutar sekeping memori. Revan adalah mantan kekasih Silvi. Pria yang dulunya akan dijodohkan dengan istri cantiknya itu.
"Ok fine...kalau kamu ingin menarik kembali pilihanmu, aku ikhlas." lirih Calvin, wajahnya tertunduk.
Buklet di tangan Silvi bernasib sama seperti amplop dari rumah sakit. Jatuh menghantam lantai. Inilah yang tidak disukainya dari Calvin. Calvin selalu membuatnya kecewa, selalu mengulangi kesalahan yang sama. Mengaku belum memahami Silvi sepenuhnya. Namun, mengapa kesalahan yang sama terus diulang? Silvi membenci sekaligus mencintai Calvin. Hanya sisa cintanya yang membuatnya terus bertahan dengan Calvin hingga detik ini.
"Kudengar Revan belum menikah sampai sekarang. Sepertinya dia masih menunggumu. Kalau kamu masih mencintainya, aku ikhlas. Aku hargai apa pun pilihanmu." Calvin berujar lembut, tak nampak tanda-tanda kemarahan.