"Papa, jangan usir Calvin! Calvin Wan tidak seperti Arya Reinhard! Tolong Pa, jangan usir Calvin! Izinkan Calvin menikah dengan Silvi!"
Gadis cantik berambut keriting spiral dan berkulit putih itu menuruni tangga dengan langkah panjang. Tertatih menghampiri kedua orang tua dan pria pemilik hatinya. Ada bekas air mata di wajah putihnya. Lengannya terentang, lalu ia melempar diri ke pelukan Calvin.
"Calvin, aku tetap mencintaimu. Bagaimana pun kondisi kesehatan dan latar belakangmu. Kamu sempurna di mataku."
Calvin dan Silvi berpelukan. Ada luka dalam tatapan mata Calvin. Ada perih yang terpancar di mata sipitnya. Gurat kesedihan dan ketegaran terukir dalam di wajah oriental itu. Wajah oriental yang sangat dicintai Silvi.
"Silvi, maaf..." lirih Calvin. Membelai-belai rambut, punggung, dan kedua tangan gadis blasteran Jawa-Skotlandia itu.
"Mengapa harus minta maaf?" tanya Silvi.
"Aku hanya bisa membuatmu susah. Membuatmu sedih. Karena aku, kamu bertengkar dengan keluargamu. Maaf..."
Sesuatu yang pedih menggores hati Silvi. Selalu saja Calvin menyalahkan dirinya sendiri. Semua ini bukan salahnya. Terlahir sebagai anak istri simpanan, memiliki penyakit katastropik yang sulit disembuhkan, dan menghadapi vonis infertilitas. Siapa yang menginginkannya? Ini hanyalah takdir. Takdir yang harus dihadapi Calvin.
"Kamu kuat, Calvin. Kamu pria paling tegar yang kukenal. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu mencintaimu. Selalu..."
"Cukup! Lepaskan anak saya! Keluar dari rumah ini, dan jangan kembali lagi!"
Teriakan sepasang suami-istri paruh baya itu menyentakkan momen indah mereka. Si lelaki botak menarik paksa lengan Silvi, membuat pelukannya dengan Calvin terlepas. Silvi berteriak tak terima. Kesedihan mencabik hatinya.