Kelembutan palsu, pikir Silvi geram. Calvin sungguh tak pernah mengerti dirinya. Ia benci dan kecewa sekali pada pria oriental ini. Namun di sisi lain masih cinta.
9 Desember pun bukan hanya tanggal pernikahan mereka, melainkan tanggal perceraian mereka. Silvi sudah tak mampu lagi menjalani semuanya dengan Calvin. Terlalu berat, terlalu banyak yang mengecewakan. Calvin terus-menerus kesulitan memahaminya. Apa susahnya bagi pria memahami wanita? Revan saja mampu memahami Silvi. Calvin sudah kelewatan di mata Silvi.
Pada teman-teman dan keluarga besarnya, Silvi mengakui penyebab perceraiannya dengan Calvin karena vonis infertilitas. Calvin tak bisa sembuh. Padahal ada alasan lain yang lebih krusial: kurangnya pemahaman dan pengertian dari Calvin.
Lalu, bagaimana dengan anak istri simpanan dan pria yang divonis mandul itu? Calvin berjiwa besar menerima keputusan Silvi. Merelakan Silvi bersama pilihannya. Mengikhlaskan Silvi kembali pada Revan. Mungkin dirinya yang salah. Pria yang terlahir sebagai anak tidak sah, anak haram, anak istri simpanan sepertinya memang tak layak bahagia. Tak layak mendapatkan jodoh yang baik, tak pantas meneruskan keturunan.
Hati Calvin pedih luar biasa. Dia hanya bisa ikhlas dan menerima. Pengobatan tetap ia lanjutkan. Meski tanpa hadirnya Silvi di sisinya.
Pedihnya hati Calvin tak sebanding dengan pedihnya jiwa Silvi. Ia kecewa, namun masih mencinta. Walau sudah tak tahan lagi hidup bersama mantan suami super tampannya. Calvin sudah terlalu banyak mengecewakannya. Sudah terlalu banyak membuatnya sakit hati. Entah sengaja atau tidak. Kecewa yang menyakitkan memaksa Silvi merenggut kebahagiaan dan cinta Calvin. Calvin tak pernah sempurna mengerti dirinya. Selalu saja, sebuah pemahaman menjadi sebuah ketiadaan. Calvin tak mengerti, sungguh tak pernah mengerti dengan Silvi.
** Â Â Â Â
Ku telah kehilangan jejak kakimu
Entah kemanakah diriku yang dulu selalu mencintai
Melekatnya hati di antara kita berdua
Cakap canda tawa tangis kita