Mereka bergandengan tangan memasuki rumah. Pigura-pigura berisi foto keluarga, permadani mahal, meja marmer, sofa, pajangan kristal, dan lukisan-lukisan. Semuanya masih sama.
Tuan Halim dan Nyonya Roselina menyambutnya hangat. Adica nampak dingin seperti biasa. Namun sebenarnya ia senang Calvin sudah kembali. Belum lama tiba di rumah, Tuan Halim sudah menanyai Calvin tentang cabang perusahaan mereka di Singapura.
"Ya ampun Halim...kamu ini gimana sih? Anak kita baru sampai lho. Nantilah ngobrolnya...di kantor saja." cegah Nyonya Roselina.
"Iya nih, Papa nggak bisa santai." kritik Syifa.
Mendengar pembelaan Mama dan adik perempuannya, Calvin menatap mereka penuh terima kasih. Mereka memang pengertian. Tahu bahwa dirinya masih lelah dan ingin bersantai sejenak.
** Â Â
Pukul enam pagi. Waktunya sarapan sambil membaca koran. Roti berlapis selai, apel granny, dan susu low fat menjadi menu sarapan pilihannya. Ditemani berita aktual dan terhangat. Dikelilingi empat anggota keluarga yang menyayanginya. Lengkap sudah semuanya.
Sepotong berita yang dibacanya menyentuh hati Calvin dengan rasa empati: ditemukan seorang bayi perempuan berlumur darah lengkap dengan tali pusat di sebuah masjid. Bayi itu masih hidup, namun kondisinya sangat lemah. Refleks Calvin meletakkan korannya. Wajahnya didominasi gurat kesedihan dan kecemasan.
"Calvin, are you ok?" tanya Adica, kali ini tak bisa berpura-pura cuek lagi.
"I'm ok. Aku harus melakukan sesuatu." sahut Calvin lirih.
Sejurus kemudian ia menelepon salah satu stafnya. Menyuruhnya melacak bayi perempuan itu. Entah mengapa, walaupun belum pernah bertemu, Calvin merasakan ikatan batin yang kuat dengan bayi merah berlumur darah itu.