Firasatnya tak enak. Ada mata yang tersembunyi di dalam hati, namun ia tak gunakan. Mata itu hampir sama seperti milik kakak iparnya. Pria itu mendesah tak kentara. Mencengkeram setir mobilnya erat.
Di depan pintu tol, ia berpikir sejenak. Mempertimbangkan sesuatu. Haruskah ia datang ke rumah kakaknya? Memastikan sang kakak diperlakukan dengan baik, memastikan sang kakak bahagia di malam pernikahannya.Â
Diliriknya jam tangan. Lewat tengah malam. Etiskah datang ke sana? Tapi ini kakaknya, kakak yang sangat istimewa. Istimewa karena keadaannya. Meski sang kakak tak ingin dikatakan berbeda hanya karena kondisinya.
"Jangan sebut aku istimewa, Adica. Aku tidak ingin menjadi tenar hanya karena sakit kanker darah."
Masih terekam jelas ucapan sang kakak beberapa waktu lalu. Kakaknya tak senang dibeda-bedakan. Ia tak mau diistimewakan hanya karena menjadi penyintas Leukemia.
Ini tidak bisa dibiarkan. Ia harus datang. Dimana tanggung jawabnya sebagai adik dan dokter pribadi? Nissan Terrano itu meluncur cepat di jalan tol. 100 km/jam. Menembus ruas jalan tol yang begitu sepi. Horor, satu kesan yang tercipta. Malam-malam begini, siapa yang mau berkendara di jalan bebas hambatan macam ini?
** Â Â Â
"Calvin, mengapa bisa begini?"
Dua pria dewasa, kakak-beradik yang saling pengertian, kini bertatapan. Sang kakak, yang jauh lebih tampan, menundukkan wajah. Sementara sang adik sibuk mengeluarkan peralatan kedokterannya. Raut wajahnya begitu cemas.
"Dimana Rossie?" tanya Adica tajam.
"Di kamarnya. Tolong jangan salahkan dia, Adica." pinta Calvin, satu tangannya meremas tissue penuh noda darah.
Adica menghela napas berat. Tak mengerti jalan pikiran kakaknya.
"Buat apa menikahi perempuan tak berguna itu? Dia tak bisa apa-apa, Calvin. Tidak bisa melayanimu, merawatmu, apa lagi mencintaimu. Dia..."
"Cukup, Adica. Rossie wanita baik. Aku bersyukur menikahinya. Dan jangan sebut dia perempuan. Dia wanita, bukan perempuan." Calvin menyela halus.
"Whateverlah. Yang jelas, dia sudah keterlaluan."
Hening sesaat. Sejurus kemudian Adica mulai memeriksa Calvin. Sorot kekhawatiran terpancar kian jelas di matanya.
"Tekanan darahmu turun. Hasil kemo terakhir kurang optimal kan? Well, sekarang kanker itu menyebar ke syaraf mata. Bagaimana matamu?"
"Sedikit sakit. Tapi tidak apa-apa. Aku lebih mengkhawatirkan kadar HB, Leukosit, dan Trombositku."
"Persis. Itu juga yang kukhawatirkan."
Mereka bertukar pandang cemas. Adica mulai memeriksa mata Calvin. Satu tangannya yang lain mengusap bekas darah di bawah hidung dan dagunya.
"Matamu merah. Kamu kenapa?"
"Tidak apa-apa."
Di depan adiknya, Calvin ingin terlihat kuat. Tak mau menunjukkan kelemahannya. Calvin yang kuat, sabar, dan konsisten haruslah tetap begitu.
"Kamu tidak bertengkar dengan Rossie, kan?"
Pertanyaan sulit. Adica cerdas. Dia tahu isi hati kakaknya. Calvin yang penyabar dan lembut hati, mana mungkin menjelek-jelekkan Rossie? Menuduhnya sebagai perusak suasana pernikahan? Tidak, Calvin tidak sejahat itu.
"Kusarankan kamu istirahat total. Paling tidak, sampai kondisimu membaik." kata Adica.
"Tapi, bagaimana dengan perusahaan Papa? Bagaimana dengan pekerjaanku?" tanya Calvin keberatan.
"Biar aku yang bicara dengan Papa. Papa pasti mengerti." Adica berujar meyakinkan.
Perintah eksplisit begitu, mana mungkin dibantah? Di kantor, Calvin adalah petinggi perusahaan. Di rumah, Adica adalah adik sekaligus dokter pribadinya. Kekuasaan dan posisinya jauh lebih tinggi.
** Â Â Â
Menuruti saran Adica, Calvin istirahat total. Tidak ke kantor, tidak pula menjalankan aktivitas yang berat-berat. Hanya menulis artikel. Melanjutkan kembali ulasannya seputar fintech. Kali ini lebih berfokus pada peer-to-peer-lending sebagai solusi untuk pengusaha kecil. Setelah itu menonton film sebentar dan tidur lebih awal.
Kondisi Calvin jauh dari kata sehat. Dalam kesakitan yang mendera, Calvin sendirian. Ia tidur terpisah dengan Rossie. Kamarnya terletak di lantai atas, sedangkan kamar Rossie di lantai bawah.
Tak ada honeymoon. Rossie menolaknya dengan keras saat Calvin mengajaknya berbulan madu. Mulai dari tawaran honeymoon di Bali, Singapura, Malaysia, Thailand, China, keliling Eropa, sampai umrah di Mekkah. Semua itu Rossie tolak.
Lalu Rossie? Dimanakah wanita cantik berambut panjang itu? Pagi-pagi sekali ia sudah meninggalkan rumah. Sibuk mengurus bisnisnya. Tak sedikit pun peduli pada Calvin. Mengabaikan roti berlapis selai, apel Granny, dan susu low fat yang tersedia di meja makan. Andai saja Rossie tahu. Set menu sarapan itu sengaja disiapkan Calvin untuknya. Hanya untuknya. Sayangnya, menu itu tak tersentuh.
Kini Calvin berbaring sendirian di kamarnya. Kamar tidur mewah bernuansa off white. Lengkap dengan ranjang king size, permadani tebal, sofa empuk, televisi plasma, air conditioner, grand piano, printer, scanner, dan perangkat komputer. Sendiri, menikmati sepi dan rasa sakitnya.
Dalam keadaan sakit, tetap saja dia memikirkan Rossie. Istri cantiknya itu terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Lupa waktu, lupa pada rumah dan keluarrganya. Tak masalah bagi Calvin saat Rossie melupakan dirinya. Yang ia takutkan, Rossie melupakan kesehatannya sendiri. Seorang surviver kanker tidak boleh begitu.
Terlintas sebuah ide. Calvin mengontak salah satu asistennya di kantor. Menyebutkan tentang lunchbox, video musik, dan waktu.
"Pastikan Rossie menghabiskan makan siangnya," Calvin mengakhiri, tenang tetapi tegas.
Sesaat kemudian Calvin turun dari tempat tidurnya. Beranjak mendekati grand piano. Memainkan instrumen musik itu, lalu menyanyi. Sudah lama ia tak menyanyikan lagu untuk Rossie. Bukankah Rossie suka pria yang bisa bernyanyi?
** Â Â Â
Sebuah kotak putih dibukanya. Sejenak terkesima menatapi set menu makanan favoritnya. Siapa yang mengirimkannya? Jelas-jelas bukan dia yang memesannya sendiri, sebab sudah terlintas rencana untuk makan siang dengan seseorang.
Sebentuk kartu kecil dan sebuah iPod tergeletak manis di pinggir kotak. Ia mengambil dua benda mungil itu. Tulisan tangan sangat rapi yang dikenalnya. Meski tak ada nama, meski tak menunjukkan identitas.
Lagu yang diperdengarkan dari iPod memperjelas segalanya. Mata hitam nan bening milik wanita itu melebar. Bergetar hatinya mendengar alunan piano itu, suara bass itu. Tak salah lagi. Pastilah suami super tampannya. Pasangan surviver kankernya.
Kasih sudah kuakui
Semua salahku padamu
Beri aku kesempatan
Untuk buktikan cinta setiaku padamu lagi
Oh maaf, maafkan diriku
Yang telah membuat hatimu terluka
Hanya kau cintaku
Ku tak pernah pikir
Tuk pergi darimu
Walau hanya sekejap saja
Jangan pernah kau berpikir
Untuk tinggalkan diriku
Beri aku kesempatan
Untuk buktikan cinta setiaku padamu lagi
Oh maaf, maafkan diriku
Yang telah membuat hatimu terluka
Hanya kau cintaku
Ku tak pernah pikir
Tuk pergi darimu
Walau hanya sekejap saja
Kan kupeluk dirimu
Takkan kulepas lagi
Untuk buktikan cintaku
Kan kuhapus lukamu
Akhiri semua ini
Hanya untukmu
Oh maaf, maafkan diriku
Yang telah membuat hatimu terluka
Hanya kau cintaku
Ku tak pernah pikir
Tuk pergi darimu
Walau hanya sekejap saja
Janjiku, janjiku padamu
Tuk mencintaimu
Sekali dalam hidupku
Kasihku dengarkan
Hanya engkau yang bisa
Temani hidup ini
Sampai akhir usia kita (Rio Febrian-Maafkan).
Kristal bening jatuh di mata Rossie. Sudah terlambat, pikirnya gusar. Sudah tak ada lagi alasannya untuk memaafkan Calvin.
Kemanakah Calvin ketika dirinya kritis dan membutuhkannya? Kemanakah Calvin ketika operasi pengangkatan rahim itu berlangsung? Calvin tak pernah, dan tak pernah peduli padanya.
Awalnya, Calvin dan Rossie bersahabat sejak kecil. Berbagai kondisi menyakitkan membuat mereka terpisah. Penyakit kanker, hadirnya orang lain, karier, dan banyak hal lainnya. Rossie masih sabar pada mulanya. Berusaha menerima dan memahami kelebihan serta kekurangan Calvin. Berusaha mengerti sikapnya yang belum bisa ia terima. Namun tak semudah itu. Terkaadang, sikap dan tingkah Calvin membuatnya kecewa dan tidak tahan. Keras kepala, tidak romantis, tidak bersikap manis, tidak menghargai Rossie saat wanita Sunda-Jerman itu ingin menemani atau menenangkannya, dan sulit diajak bicara serius. Jujur saja, Rossie tak menyukainya.
Sampai akhirnya, datanglah saat terberat itu. Kanker rahim. Calvin, satu-satunyaa pria yang keras kepala menjulukinya "Bawang" dengan berbagai lapisan yang belum terbuka sampai ke intinya itu, tidak ada di sampingnya. Kali ini, Rossie menutup pintu maafnya rapat-rapat. Ia sudah berjuang sendirian melawan kanker. Hingga melewati operasi yang memutarbalikkan hidupnya. Calvin tak ada, tak pernah ada. Mana mungkin ia percaya?
Tetiba saja, setengah tahun lalu, Calvin datang melamarnya. Mengajaknya menikah. Saat itu Rossie masih memulihkan jiwanya. Membebaskan diri dari guncangan trauma. Mengumpulkan kembali sisa-sisa kepercayaan dirinya. Sejak menjalani operasi, Rossie berubah menjadi wanita introvert, dingin, dan mengalami krisis kepercayaan diri.
Terpaksa ia menerima lamaran Calvin. Menghadapi pernikahan tanpa cinta. Keluarga bahagia dan bersyukur. Tentu saja, karena ada yang mau menikahi wanita tak sempurna seperti dirinya. Tapi Rossie tak pernah mensyukuri pernikahannya.
Terlarut dalam lamunan, Rossie membanting iPod ke meja. Membuang kotak makan siang yang belum tersentuh. Lalu berjalan meninggalkan ruang kerjanya. Ada seorang pria baik hati yang menunggunya di luar sana.
"Reinhard...shall we go now?" Rossie bertanya lembut. Meraih tangan Reinhard, tersenyum padanya. Senyuman dan genggaman tangan selembut itu mustahil didapatkan Calvin darinya.
Siapakah Reinhard sebenarnya? Apakah ia akan menggeser posisi Calvin Wan?
** Â Â Â
https://www.youtube.com/watch?v=2WrOq4tN5V0
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H