Adica menghela napas berat. Tak mengerti jalan pikiran kakaknya.
"Buat apa menikahi perempuan tak berguna itu? Dia tak bisa apa-apa, Calvin. Tidak bisa melayanimu, merawatmu, apa lagi mencintaimu. Dia..."
"Cukup, Adica. Rossie wanita baik. Aku bersyukur menikahinya. Dan jangan sebut dia perempuan. Dia wanita, bukan perempuan." Calvin menyela halus.
"Whateverlah. Yang jelas, dia sudah keterlaluan."
Hening sesaat. Sejurus kemudian Adica mulai memeriksa Calvin. Sorot kekhawatiran terpancar kian jelas di matanya.
"Tekanan darahmu turun. Hasil kemo terakhir kurang optimal kan? Well, sekarang kanker itu menyebar ke syaraf mata. Bagaimana matamu?"
"Sedikit sakit. Tapi tidak apa-apa. Aku lebih mengkhawatirkan kadar HB, Leukosit, dan Trombositku."
"Persis. Itu juga yang kukhawatirkan."
Mereka bertukar pandang cemas. Adica mulai memeriksa mata Calvin. Satu tangannya yang lain mengusap bekas darah di bawah hidung dan dagunya.
"Matamu merah. Kamu kenapa?"
"Tidak apa-apa."