Menjauh sedikit dari Silvi, keduanya berdiri bersisian. Calvin tak dapat menahan diri untuk memegang lembut kedua tangan Clara. Sebelum ruang dan waktu memisahkan mereka untuk sementara.
"Aku tunggu...aku menunggumu. Semoga urusan single parent adoption berjalan lancar." ujar Clara.
"Semoga saja. Thanks Clara."
Clara melempar senyum menawan. Calvin menatapnya lekat. Tulus, dalam, penuh cinta.
"Jika aku berhasil, aku akan jadi ayah yang jauh lebih baik lagi." ungkap Calvin penuh kesungguhan.
"That's good. Kamu pasti bisa. Dan...aku akan menunggu. Sampai kamu kembali seperti dulu."
Di ujung sana, Silvi menahan perasaannya. Menekan luka hatinya dalam-dalam. Dia pun mau menunggu asalkan diberi kesempatan. Bahkan ia siap menunggu lama dengan sabar. Silvi jauh lebih terbiasa.
Pisau tajam merobek hati, memahat luka. Silvi merasa dua kali lipat lebih kesepian. Pedih hatinya, hampa jiwanya, hancur fondasi ketegarannya. Calvin sudah punya Clara yang akan menunggunya. Kehadiran Silvi dan kebaikan hatinya memang tak berarti apa-apa. Hati Silvi pedih, sungguh pedih. Dirinya memang tak pernah diinginkan. Selalu terabaikan, selalu tak diinginkan, selalu jadi yang kedua. Tak ada yang benar-benar peduli, Silvi sadar itu.
** Â Â Â
https://www.youtube.com/watch?v=nRa8-AB4Wyk
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H