Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Psikolove, Akhirnya Ku Menemukanmu (8)

7 Desember 2017   05:57 Diperbarui: 7 Desember 2017   05:58 927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tatapannya berubah nanar. Satu kesan Silvi tentang lelaki berpostur tinggi dan berwajah tipikal Arabian ini: tidak suka. Laki-laki itu cukup tampan. Hidung mancung, wajah khas Timur Tengah, rahang tegas, dan mata indah. Istimewanya, setengah jam lalu si lelaki memberi tawaran yang sangat bagus. Tawaran yang diidamkan para wanita Muslim: Ta'aruf.

"Kamu yakin tidak mau mencobanya denganku?" tanya laki-laki itu untuk kedua kalinya.

"Sekali tidak tetap tidak, Syahriza Wardan." tandas Silvi.

Syahriza Wardan, lelaki berwajah Arabian itu, menghempas napas kesal. Kecewa berat tawaran Ta'arufnya ditolak. Putra tunggal salah satu pejabat tinggi negara itu tak dapat menahan perasaannya.

"Sebenarnya, apa yang kamu suka dari anak pengusaha itu? Apa bagusnya dia dibandingkan aku?" desak Riza dengan nada interogatif.

"Siapa yang kamu maksud itu?" balas Silvi marah.

Sebagai jawaban, Riza merebut tab dari tangan Silvi. Terbelalak menatap aplikasi e-mail yang sedang terbuka. Belakangan ini, Silvi lebih suka membuka e-mail di tab dan laptopnya. Sementara smartphonenya hanya ia gunakan untuk mengakses aplikasi chat dan sosial media.

"Lihat ini! Calvinwan912@gmail.com. Kamu sering sekali berkomunikasi dengannya! Ratusan e-mail di antara kalian berdua! Apa bagusnya si Calvin itu?"

Melawan rasa dinginnya, mengabaikan sakit di mata kanannya, Silvi melangkah maju. Merebut kembali tab miliknya.

"Bukan urusanmu, Riza. Lancang sekali kamu. Merebut milik orang lain, melanggar privasi...beginikah cerminan orang saleh dan religius?"

"Aku hanya penasaran. Apa yang ada di kepalamu? Sampai-sampai kamu lebih senang berdekatan dengan laki-laki aneh bernama Calvin Wwan itu dibandingkan dengan aku. Asal kamu tahu saja, keluargaku jauh lebih kaya dan berpengaruh dibandingkan keluarga Calvin. Ayahku pejabat negara, ibuku pengusaha sukses. Pengaruh, kekuasaan, dan kekayaan ada di tangan kami. Sebesar apa pun perusahaan milik Calvin, tetap takkan mampu menandinginya."

Detik berikutnya Silvi bersyukur telah menolak tawaran Ta'aruf dari Riza. Kelihatannya saja alim, namun sesungguhnya culas dan arogan. Tangan Silvi terkepal. Ditatapnya Riza penuh kebencian.

"Lebih baik kamu keluar! Pergi dari rumahku! Bukankah sudah kujelaskan alasanku menolakmu?" seru Silvi.

"Kamu menolakku hanya karena aku tidak berdarah campuran! Alasan konyol! Allah tidak memandang manusia dari suku dan rasnya, tapi..."

"Stop! Aku tidak butuh tausyiahmu. Aku harus pergi sekarang."

Setelah berkata begitu, Silvi merapatkan syalnya. Berlari kecil ke garasi. Tak mempedulikan Riza, tak peduli pula pada rasa dingin yang menjalari tubuhnya.

"Hei...sudah siap? Ayo kita berangkat," Clara menyambutnya hangat. Silvi baru saja masuk ke mobil dan menutup pintunya.

Toyota Yarris itu melaju pergi. Clara mengemudikan mobil penuh konsentrasi. Sesekali melirik GPS.

"Masih ada waktu. Kita jalan-jalan sebentar ya?" tawar Clara.

"Tapi aku bisa ketinggalan pesawat..." Silvi ingin menolak, khawatir bercampur ragu.

"Tidak, tidak akan. Kita akan sampai tepat waktu. Aku ingin jalan-jalan bersamamu, Princess. Oh ya, aku juga ingin makan bersamamu. Kamu mau dinner dimana?"

Jalan-jalan dengan Clara, sudah lama tak dilakukannya. Toh hari ini Clara kelihatannya tidak sibuk. Punya banyak waktu senggang. Berjalan-jalan sebentar sebelum menempuh perjalanan udara ke negeri singa nampaknya boleh juga.

"Terserah kamu," jawab Silvi datar.

Sesaat Clara menghentikan mobilnya di tepi jalan. Mengambil iPhonenya, lalu berkutat dengan ponsel pintar berlogo apel tergigit itu.

"Arion atau Kelapa Gading?" tanya Clara tetiba.

Silvi menahan napas. Persis sama, benar-benar sama seperti pertanyaan Calvin padanya tempo hari. Dialog ringan ini layaknya deja vu.

"Kelapa Gading," Silvi menyahut tenang.

Clara mengangguk, lalu melajukan kembali Yarrisnya. Tubuh Silvi serasa membeku. Mengapa Clara dan Calvin begitu mirip? Cara bicaranya, sikapnya, cara menyetirnya, senyumnya, dan tatapan matanya. Menatap wajah Clara membuat Silvi teringat pria pujaan hatinya. Tiap kali melihat Clara, yang diingatnya justru Calvin.

Ada aura Calvin Wan dalam diri Clara. Mereka berdua punya banyak kesamaan. Sama-sama dingin, tegar, tertutup, dan cerdas. Pengalaman masa kecil mereka pun hampir sama. Silvi masih ingat, betapa cantiknya Clara waktu kecil. Di masa dewasanya pun Clara masih cantik. Hanya saja, Clara kecil dan Clara dewasa jauh berbeda. Clara di masa kecilnya adalah gadis cantik berambut panjang dengan kulit putih, paras oriental, dan penampilan anggun. Sama seperti Silvi, Clara kecil dan Clara remaja senang memakai dress. Sejak kecil, ia sudah menekuni dunia modeling. Ikut fashion show dimana-mana, membawakan busana dari beberapa brand lokal, dan berbagai kegiatan modeling lainnya dia ikuti. Hanya saja, ada yang mengganggunya waktu itu. Banyak orang suka memberinya julukan aneh padanya. Clara selalu dipanggil "China" tiap kali berpapasan dengan banyak orang dalam perjalanan menuju sekolahnya. Di sekolahnya pun begitu. Entah mengapa. Padahal tak ada darah Tionghoa sama sekali dalam diri Clara. Ia justru berdarah Sunda-Inggris. Namun gen Kaukasoid dari almarhumah nenek buyutnya tidak menurun padanya. Silvilah yang mendapatkannya. Wajah dan penampilan Chinesse, salah siapa?

Clara tidak salah. Orang-orang hanya salah duga. Di sisi lain, sahabat-sahabat dekatnya memuji kecantikannya. Amoy, begitu kata pemuda Tionghoa yang bersahabat dekat dengannya sewaktu Clara beranjak remaja. Mengarah pada arti gadis belia, bukan bermaksud negatif. Clara pun tersenyum rileks saja dijuluki begitu.

Lama-kelamaan ia tak tahan juga di-bully banyak orang. Dipanggil-panggil seperti itu tiap kali ia lewat. Pernah suatu kali Clara meneriaki mereka.

"Jangan panggil aku China!"

Masalah rasisme terlanjur mengakar kuat. Setahun kemudian, Clara berhenti menjadi model. Ia mengubah total penampilannya. Rambutnya tak lagi. Kini rambutnya menjadi pendek dan ia tak mau memanjangkannya lagi. Gaya berpakaiannya pun berubah. Clara membuang gaun-gaunnya. Terlanjur kesal hatinya dipanggil dengan sebutan itu. Pengalaman dan masa lalu Clara, hanya Silvi yang paling tahu. Jangan pernah ungkit masalah itu di depan Clara. Ia takkan pernah menyukainya.

Silvi tenggelam dalam kenangan. Menatap Clara di sampingnya. Biar bagaimana pun, pengalaman masa kecil Clara dan Calvin hampir sama. Mereka punya kesamaan masa lalu. Clara yang tertutup itu, enggan membahas masa lalunya di depan semua orang. Termasuk keluarganya sendiri.

"Kamu mirip Calvin..." desah Silvi.

Clara mengangkat satu alisnya. "Aku? Mirip Calvin? Why?"

Silvi tak menjawab. Enggan membahas topik masa lalu yang membuat Clara marah. Ia ingin menjaga perasaan wanita Aries itu.

Sisa perjalanan itu terlewati dalam hening. Clara berkonsentrasi pada ruas-ruas jalan yang dilewatinya. Pikiran Silvi bercabang ke arah Riza. Bukannya menyesal menolak tawaran Ta'arufnya, melainkan tak habis pikir dengan sikapnya. Riza yang tampan, kaya-raya, dan saleh, ternyata menyimpan bibit culas.

**     

"Aku mengkhawatirkanmu, Silvi. Sekarang aku sudah tak bisa lagi di sisimu selama 24 jam. Tak seperti dua tahun lalu..." Clara lembut mengingatkan.

Silvi menggigit bibirnya masygul. Lalu mengapa? Toh ia bisa menjaga diri sendiri. Ia tak butuh diperhatikan lagi. Biar saja dia hidup sendiri. Jauh lebih enak begini. Mungkin hidupnya lebih tenang, meski berbalut sepi.

"Andai saja aku bisa menjagamu lagi...menemanimu kemana pun kamu pergi...aku takkan sekhawatir ini, Sayang." desah Clara.

Di kantor, Clara tegas dan berwibawa. Di Biro Psikologi, ia profesional. Di kalangan teman-temannya, ia galak. Namun di antara orang-orang yang dicintainya, Clara begitu sabar dan halus.

"Kamu hati-hati ya, Princess. Ok fine, Calvin itu baik. Tapi...dia sakit, Silvi. Dia takkan bisa menjagamu." Clara melanjutkan, nada suaranya kian lembut.

"Munafik," tukas Silvi tajam.

Sendok meluncur dari jemari tangan Clara. Terjatuh, lalu mendarat di lantai dengan bunyi dentang mengagetkan.

"Kenapa kamu bilang begitu?"

"Kamu sendiri menyukai Calvin, kan?"

Sejak Silvi dekat dengan Calvin, Clara menjadi lebih perhatian. Lebih sering meluangkan waktu untuk Silvi. Sering mengajaknya jalan-jalan, memanjakannya, membelikannya banyak pakaian, memperhatikannya dari jauh, dan terlihat lebih sayang padanya. Entah mengapa sikapnya begitu. Kata banyak orang, Clara mencemaskan Silvi. Clara takut adiknya diperlakukan tidak baik oleh Calvin.

"Iya...kuakui aku menyukai Calvin. Tapi aku berusaha profesional, Silvi. Aku psikolog, Calvin klienku. Dia butuh penanganan khusus." jelas Clara sabar.

"Whatever. Yang jelas, kamu mencintai Calvin. Bersyukurlah, Clara. Cintamu terbalas."

Kepala Silvi tertunduk. Hatinya perih luar biasa saat mengatakan hal itu. Calvin dan Clara saling mencintai, itu jelas. Tinggal tunggu waktu sebelum Clara putus dengan Adica, kemudian bersatu dengan Calvin.

Pedih menggores hati Silvi. Dingin di tubuhnya makin terasa. Seiring dengan semakin dalam hatinya terjerumus dalam sakitnya kepedihan cinta. Sudah ada wanita lain. Wanita beruntung itu tak lain Clara. Silvi bukan apa-apa dibandingkan wanita terpilih itu.

Sementara itu, Clara merasakan pedih yang sama. Sakitnya dituduh seperti itu oleh adiknya sendiri. Diakuinya bila dia dan Calvin memendam cinta terlarang. Namun mereka tak sampai terang-terangan menyatakan diri berselingkuh. Cinta ini hanya tersembunyi di dasar hati.

Mengobati kepedihan hatinya, tanpa disadari kedua perempuan cantik itu melakukan hal serupa: membuka media citizen journalism itu. Membaca artikel tentang pengertian aset yang keliru. Itu artikel terbaru Calvin. Blogger super tampan itu berusaha meluruskan pengertian tentang aset yang sering keliru.

Satu hal yang pasti. Hati mereka sungguh-sungguh pedih. Pedih karena cinta. Cinta itu siksaan yang manis.

Dari MKG, mereka meluncur ke butik. Clara lagi-lagi membelikannya baju. Sungguh, Silvi tak mengerti apa maksud kakak cantiknya. Mengapa berkali-kali lipat lebih sayang dan perhatian? Terutama sejak Silvi dekat dengan Calvin. Clara jauh lebih cemas.

"Selama kamu bersama Calvin di Singapore nanti, hati-hati ya?" Clara berpesan dengan lembut, satu tangannya membawa paperbag berisi baju.

Nasihat Clara disambuti anggukan singkat Silvi. Nampaknya Clara belum percaya pada Calvin. Padahal Clara mencintainya.

**      

When you walk don't leave a note

Just put your hands on the back door

When you talk it's just a joke

Just know, I can't take it anymore

Down there you go always

See if I care faded

Down, don't you know where I'll be'Cuz I'm here, on my own

Waiting, when I'm waiting(don't you know)

I've been here before, and I don't care where I'm going

So I'll be, waiting (waiting)When I'm waiting (don't you know)

I'll tell you once more

That, as long as you're gone

Then I'll stay...

Outside there's no place I can hide

And your "down time"

Is anything but right (The All American Rejects-I'm Waiting).

**     

Menjauh sedikit dari Silvi, keduanya berdiri bersisian. Calvin tak dapat menahan diri untuk memegang lembut kedua tangan Clara. Sebelum ruang dan waktu memisahkan mereka untuk sementara.

"Aku tunggu...aku menunggumu. Semoga urusan single parent adoption berjalan lancar." ujar Clara.

"Semoga saja. Thanks Clara."

Clara melempar senyum menawan. Calvin menatapnya lekat. Tulus, dalam, penuh cinta.

"Jika aku berhasil, aku akan jadi ayah yang jauh lebih baik lagi." ungkap Calvin penuh kesungguhan.

"That's good. Kamu pasti bisa. Dan...aku akan menunggu. Sampai kamu kembali seperti dulu."

Di ujung sana, Silvi menahan perasaannya. Menekan luka hatinya dalam-dalam. Dia pun mau menunggu asalkan diberi kesempatan. Bahkan ia siap menunggu lama dengan sabar. Silvi jauh lebih terbiasa.

Pisau tajam merobek hati, memahat luka. Silvi merasa dua kali lipat lebih kesepian. Pedih hatinya, hampa jiwanya, hancur fondasi ketegarannya. Calvin sudah punya Clara yang akan menunggunya. Kehadiran Silvi dan kebaikan hatinya memang tak berarti apa-apa. Hati Silvi pedih, sungguh pedih. Dirinya memang tak pernah diinginkan. Selalu terabaikan, selalu tak diinginkan, selalu jadi yang kedua. Tak ada yang benar-benar peduli, Silvi sadar itu.

**      

https://www.youtube.com/watch?v=nRa8-AB4Wyk

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun