"Munafik," tukas Silvi tajam.
Sendok meluncur dari jemari tangan Clara. Terjatuh, lalu mendarat di lantai dengan bunyi dentang mengagetkan.
"Kenapa kamu bilang begitu?"
"Kamu sendiri menyukai Calvin, kan?"
Sejak Silvi dekat dengan Calvin, Clara menjadi lebih perhatian. Lebih sering meluangkan waktu untuk Silvi. Sering mengajaknya jalan-jalan, memanjakannya, membelikannya banyak pakaian, memperhatikannya dari jauh, dan terlihat lebih sayang padanya. Entah mengapa sikapnya begitu. Kata banyak orang, Clara mencemaskan Silvi. Clara takut adiknya diperlakukan tidak baik oleh Calvin.
"Iya...kuakui aku menyukai Calvin. Tapi aku berusaha profesional, Silvi. Aku psikolog, Calvin klienku. Dia butuh penanganan khusus." jelas Clara sabar.
"Whatever. Yang jelas, kamu mencintai Calvin. Bersyukurlah, Clara. Cintamu terbalas."
Kepala Silvi tertunduk. Hatinya perih luar biasa saat mengatakan hal itu. Calvin dan Clara saling mencintai, itu jelas. Tinggal tunggu waktu sebelum Clara putus dengan Adica, kemudian bersatu dengan Calvin.
Pedih menggores hati Silvi. Dingin di tubuhnya makin terasa. Seiring dengan semakin dalam hatinya terjerumus dalam sakitnya kepedihan cinta. Sudah ada wanita lain. Wanita beruntung itu tak lain Clara. Silvi bukan apa-apa dibandingkan wanita terpilih itu.
Sementara itu, Clara merasakan pedih yang sama. Sakitnya dituduh seperti itu oleh adiknya sendiri. Diakuinya bila dia dan Calvin memendam cinta terlarang. Namun mereka tak sampai terang-terangan menyatakan diri berselingkuh. Cinta ini hanya tersembunyi di dasar hati.
Mengobati kepedihan hatinya, tanpa disadari kedua perempuan cantik itu melakukan hal serupa: membuka media citizen journalism itu. Membaca artikel tentang pengertian aset yang keliru. Itu artikel terbaru Calvin. Blogger super tampan itu berusaha meluruskan pengertian tentang aset yang sering keliru.